Senin, 15 Mei 2017

syuf'ah



SYUF’AH
Makalah ini disusun guna memenuhi Tugas Mata Kuliah:
Hadits Ekonomi dan Perbankan Syariah 1
Dosen pengampu : Khoirurroji’in,Lc.,M.Pd.I.




Description: STAIN Colour
 











Disusun Oleh:
Kelompok 4
                            Evi Setianingsih                               1502100050
                            Eva Wahyu Wulandari                    1502100049
                            Imes Kurnia Sari                              1502100080
                            Iisnaini Rahmawati                          1502100060
                           

Kelas B
PROGRAM STUDI SI PERBANKAN SYARIAH
JURUSAN SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAIN) JURAI SIWO METRO
2016

KATA PENGANTAR


Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan  kenikmatan kepada penulis khususnya umumnya untuk kita semua, karena berkat hidayah dan inayah-Nya penulis bisa menyelesaikan makalah ini, shalawat beserta salam marilah kita curahkan kepada junjungan kita yakni nabi Muhammad SAW.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dosen pengampu mata kuliah “Hadist Ekonomi dan Perbankan Syariah 1” yang telah membimbing penulis di dalam penyusunan makalah ini, serta mengucapkan yerima kasih pula terhadap semua rekan rekan yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan makalah ini. Namun penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun penulis harapkan demi perbaikan dan kebaikan.
Semoga makalah ini menjadi khazanah keilmuan khususnya bagi penulis umumnya bagi yang membaca dan Semoga makalah ini memberikan informasi bagi mahasiswa dan bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua


                                                                                               Metro, Oktober 2016   


                                                                                               Penulis



DAFTAR ISI

Kata Pengantar............................................................................................... ii
Daftar Isi......................................................................................................... iii
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang.................................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah.............................................................................. 1
C.    Tujuan Masalah.................................................................................. 2
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi Syuf’ah.................................................................................... 3
B.     Hukum Disyariatkannya Syuf’ah....................................................... 7
C.    Rukun dan Syarat Syuf’ah................................................................. 7
D.    Pewaris Syuf’ah.................................................................................. 13
E.     Tindakan Pembeli.............................................................................. 13
F.     Hikmah disyariatkannya Syuf’ah..................................................... 14
G.    Syuf’ah bagi Dzimmi.......................................................................... 15      
H.    Objek syuf’ah..................................................................................... 16
I.       Filsafah Syuf’ah................................................................................. 19
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan................................................................................................... 22
Daftar Pustaka.............................................................................................. 23



BAB 1
PENDAHULUAN


A.      Latar Belakang
Syariat Islam digunakan untuk mewujudkan kebenaran dan keadilan, menyingkirkan kejahatan dan menyingkirkan kemadharatan. Ia memiliki aturan yang lurus dan hukum-hukum yang adil demi tujuan yang terpuji dan maksud-maksud yang mulia. Pengaturannya didasarkan pada pertimbangan kemaslahatan dan sesuai dengan hikmah dan kebenaran. Karena itulah ketika ada persekutuan dalam benda-benda yang tidak bergerak (seperti tanah dan rumah), seringkali terjadi kerusuhan dan menjurus kapada tindak kejahatan sehingga sulit dilakukan pembagian terhadap barang itu, maka pembuat syari’at yang bijaksana menetapkan Syuf’ah bagi sekutu atau mitra usaha.
Dengan kata lain, jika salah seorang dari dua sekutu menjual bagiannya dari benda-benda yang tidak bergerak dan menjadi persekutuan diantara keduanya, maka bagi sekutu yang tidak menjual, dapat mengambil bagian dari pembeli dengan harga yang sama, sebagai upaya untuk menghindarkan kerugiannya karena persekutuan itu. Hal ini berlaku bagi seorang sekutu selagi benda-benda yang tidak bergerak yang disekutukan belum dibagi, tidak diketahui batasan-batasannya dan tidak dijelaskan jalan-jalannya. Tapi jika batasan-batasan dan garis-garis pemisahnya diketahui antara dua bagian dan jalan-jalannya dijelaskan, maka tidak ada Syuf’ah karena dampak persekutuan dan percampur adukan hak milik sudah tidak ada, yang karenanya ada penetapan terhadap permintaan hak untuk melepaskan barang yang dijual dari pembeli. Dan dalm makalah ini akan diulas lebih jelas lagi apa Syuf’ah itu, dan bagaimana filsafah dari Syuf’ah itu sendiri.
B.       Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam pembahasan makalah ini adalah:
1.    Apa yang dimaksud dengan Syuf’ah?
2.    Bagaimana Landasan hukum apa yang di pakai adanya Syuf’ah?
3.    Apa saja rukun dan syarat dalam Syuf’ah?
4.    Adakah pewaris di dalam Syuf’ah itu?
5.    Apa hikmah dengan adanya Syuf’ah?

C.      Tujuan Masalah
Tujuan dari pembahasan dalam makalah ini adalah:
1.    Mengetahui definisi dari  Syuf`ah.
2.    Mengetahui landasan hukum yang dipakai Syuf’ah.
3.    Mengetahui rukun-rukun serta syarat-syarat dalam Syuf’ah.
4.    Mengetahui pewarisan dalam Syuf’ah.
5.    Mengetahui hikmah adanya Syuf’ah.


















BAB II
PEMBAHASAN



A.      Definisi Syuf’ah
As-Syuf’ah menurut bahasa artinya al-Dham, al-Taqwiyah dan al-I’anah. Sedangkan menurut istilah, para ulama menafsirkan al-Syuf’ah sebagai berikut.
1.      Menurut Syaikh Ibrahim al-Bajuri bahwa yang dimaksud dengan al-Syuf’ah ialah:
Hak memiliki sesuatu secara paksa ditetapkan untuk syarik terdahulu atas syarik yang baru disebabkan adanya syirkah dengan penggantian (i’wadh) yang dimilikinya, disyariatkan untuk mencegah kemudharatan.”[1]
2.      Menurut Sayyid Sabiq, al-Syuf’ah ialah pemilikan benda-benda Syuf’ah oleh Syafi’i sebagai pengganti dari pembeli dengan membayar harga barang kepada pemiliknya sesuai dengan nilai yang biasa dibayar oleh pembeli lain.
3.      Menurut Idris Ahmad, al-Syuf’ah ialah hak yang tetap secara paksa bagi syarikat lama atas syarikat baru dengan jalan ganti kerugian pada benda yang menjadi milik bersama.

Dari definisi-definisi yang dijelaskan oleh para ulama diatas kiranya kurang kurang dapat dipahami bila tidak dilengkapi dengan contoh. Contoh syuf’ah adalah sebagai berikut:
Umar membeli satu buah rumah bersama dengan ja’far rumah tersebut terdiri atas delapan kamar, empat kamar untuk Umar dan empat milik Ja’far. Kemudian Ja’far hendak menjual kamarnya kepada yang lain, dalam hal ini Umar dapat memaksa Ja’far untuk menguasai kamar milikknya dengan imbalan sebagaimana layaknya berlaku, artinya Umar lebih berhak membeli daripada orang lain.
Setelah diketahui taritarif yang dikemukakan oleh para ulama beserta contohnya, kiranya dapat dipahami bahwa al-syuf’ah ialah pemilikan oleh salah seorang sya’riq dari dua orang atau pihak yang berserikat dengan paksaan terhadap benda syirkah.
Pada riwayat lain disebutkan bahwa rosulullah saw bersabda:
مَنْ كَانض لهُ شِرْكٌ فِى نَخْلِ اَوْرُعْبَةٍ فَلَيْسَ لَهُ اَنْ يَبِيْعَ حَتَّ يُؤْذِن شَرِيْكُهُ فَإِنْ رَضِىَ اَخَذُ وَاِنْ كَرِهَ تَرك
Artinya: “Barang siapa yang mengadakan persekutuan  dlam kepemilikan kebun atau rumah, maka salah seorang diantara mereka tidak boleh menjual haknya, sebelum mendapat izin dari semua pihak uyang ikut dalam persekutuan itu. Bila ia ingin juga menjualnya, sedangkan para anggota persekutuan tersebut ada yang berminat kepada bagian yang dijual tersebut, maka orang yang berminat itu berhak mengambil (membelinya), dan bila ia tidak berminat, maka ia berhak untul meninggalkannya.”[2]
Hadis Ke-33
       “Dari Jabir bin Abdullah R.a., dia berkata, Nabi SAW menjadikan (dalam suatu lafazh:menetapkan) Syuf’ah dalam segala bagian yang belum dibagi. Jika sudah ditetapkan batasan-batasan barang dan jalan-jalannya sudah dijelaskan, maka tidak ada syut’ah’.” (HR Bukhari-Muslim)
      
       Kesimpulan Hadist:
1.      Hadis ini merupakan dasar dalam menetapkan syuf’ah, yang juga disandarkan kepada ijma’.
2.      Kandungan hadis ini mengisyaratkan penetapan syuf’ah dalam benda-benda yang bergerak. Tapi susunan kalimatnya hanya dikhususkan untuk benda-benda yang tidak bergerak, tapi dapat disertai dengan pepohonan dan bangunan jika berkenaan dengan tanah.
3.      Syuf’ah berlaku untuk benda-benda tak bergerak yang disekutukan, yang batasan-batasannya belum ditetapkan, tidak dijelaskan jalan-jalannya, karena kerugian sekutu yang meminta syuf’ah.
4.      Jika batasan-batasannya sudah ditetapkan dan jalan-jalannya dijelaskan, maka tidak ada lagi syuf’ah, karena kerugian tidak lagi ada dan sudah ada pembagian yang jelas dan tidak ada lagi pencempuradukan.
5.      Atas dasar ini, syuf’ah tidak berlaku untuk tetangga, karena sudah ada kejelasan batasan tanah. Dibagian mendatang akan dijelaskan syuf’ah untuk sesuatu yang didalamnya ada manfaat bersama antara dua tetangga.
6.      Sebagian ulama berhujjah dengann hadis ini bahwa syu’fah tidak berlaku kecuali unntuk benda-benda yang tidak bergerak yang memungkinkan dapat dibagi, namun menyisakan sebagian yang tidak dapat dibagi, yang disimpulkan dari sabda beliau,”Untuk segala sesuatu yang tidak dapat dibagi.” Sebab benda yang tidak dapat dibagi, tidak membutuhkan penafiannya.
7.      Syuf’ah ditetapkan untuk menghindarkan kerugian sekutu. Karena itulah dikhususkan untuk benda-benda yang tidak bergerak, karena persekutuan untuk benda-benda ini relatif lebih sedikit, yang dapat dituntaskan dengan  berbagai macam cara, dapat dibagi tanpa harus melakukan pekerjaan yang berat, tidak perlu menjual atau yang lainnya.[3]

Secara etimologis kata syuf’ah terambil dari kata syaf’u karena syafi’ (pemohon syuf’ah) bagiannya tersendiri pada miliknya. Syuf’ah berarti menggabungkan bagian mitranya kepadanya sehingga menjadi tergabung. Bisa juga berasal dari kata syafa’ah, karena pada zaman jahiliah jika seseorang akan menjual rumahnya, kawan atau tentangnya mendatanganinya untuk menggabungkan diri tentang apa yang akan dijual. Kemudian penjual memprioritaskan kepada orang yang lenih dekat hubungannya dari pada orang yang jauh.
Adapun syuf’ah secara terminologis adalah hak seorang partner untuk membeli secara paksa bagian father lain yang telah dijual kepada orang lain dengan harga yang sesuai.[4]
Syuf’ah ialah hak yang diambil dengan paksa oleh serikat lama dari serikat baru.[5]
Menurut syara’ Syuf’ah adalah, pemilikan barang Syuf’ah oleh Syafi’ sebagai pengganti dari pembeli dengan membayar harga barang kepada pemiliknya, sesuai dengan nilai yang biasa dibayar oleh pembeli lain.[6]
Dalam buku diktat dijelaskan bahwa Syuf’ah secara etimologi mempunyai makna pasangan; tambahan; dan pertolongan. Dalam konteks ini semua makna bahasa ini dapat masuk kedalamnya, karena Syuf’ah terkait dengan milik bersama. Sedangkan secara terminologi, Syuf’ah mempunyai makna perpindahan hak dan tanggung jawab salah satu mitra kepada mitra lain dengan penggantian standar. Adanya pemindahan hak atau kewajiban terhadap sesuatu yang menjadi obyek syirkah yang tidak dapat dipisahkan kepada orang lain tentu saja memerlukan aturan khusus sehingga tidak mengganggu komitmen yang sudah dibuat oleh pihak yang bermitra.
Dalam kegiatan ekonomi, di samping usaha dan modal sendiri dapat juga dilakukan oleh beberapa orang secara bersama-sama. Namun dalam perjalanannya mungkin saja salah seorang atau beberapa orang ingin keluar dari kerjasama tersebut. Keluarnya salah seorang atau beberapa orang yang mempunyai hak dalam asset bersama itu, tentu tidak mudah dan perlu adanya aturan, sehingga tidak merugikan pihak yang ikut dalam kerjasama tersebut.
Dua orang atau lebih yang bekerja sama atau memiliki suatu barang secara bersama diatur secara khusus. Mereka tidak mempunyai kebebasan mutlak dalam mengalihkan barang yang dimilikinya kepada siapa yang diinginkannya. Mereka harus mengikuti aturan khusus jika bermaksud mengeluarkan haknya.[7]

B.       Hukum Disyariatkannya Syuf’ah
Syuf’ah adalah hak yang tetap berdasarkan hadis dan ijma’.
1.      Dasar hadis, yaitu Hadis Riwayat Bukhari Muslim yang bersumber dari Jabir ibn Abdullah r.a. ia berkata:

“Rasulullah SAWmemutuskan dengan syuf’ah pada setiap barang yang belum dibagi. Namun, jika telah ditetapkan batas-batasannyadan dibuat jalan-jalannya, tidak ada lagi syuf’ah padanya.” (HR.Bukhari-Muslim).

2.      Dasar ijma’
Dasar ijma’ adalah  ucapan Ibnu Munzir, “Ulama sepakat ditetapkannya syuf’ah bagi partner pada sesuatu  yang belum dibagi, berupa tanah, rumah, atau kebun. Dan Ibnu Hubairah berkata: “Ulama sepakat bahwa syuf’ah adalah wajib bagi partner.

C.      Rukun dan Syarat Syuf’ah
Rukun-rukun dan syarat-syarat al-syuf’ah adalah:
1.      Masyfu’, benda-benda yang dijadikan barang al-syuf’ah.
Berikut ini syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh benda-benda yang dijadikan benda Syuf’ah.
a.       Barang yang disyuf’ahkan berbentuk barang tetap (‘uqar) seperti: tanah, rumah dan hal-hal yang berkaitan dengan keduanya seperti tanaman, bagunan, pintu-pintu, pagar atap rumah dansemua yang termasuk dalam penjualan pada saat dilepas. Pendapat ini adalah pendapat jumhur ahli fiqh, sedangkan alasan yang digunakan adalah sebuah hadis dari Jabir r.a.:

قَضَى رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالشُّفْعَةِ فِي كُلِّ مَالٍ لَمْ يُقْسَمْ فَإِذَا وَقَعَتْ الْحُدُودُ وَصُرِّفَتْ الطُّرُقُ فَلَا شُفْعَةَ

“Rasulullah SAW: menetapkan untuk setiap benda syirkah yang tidak dapat dibegi-bagi seperti rumah atau kebun”

Pendapat diatas dibantah oleh segolongan penduduk Mekkah, al-Zahiriyah, dan suatu riwayat dari Ahmad. Mereka berpendapat bahwa Suf’ah berlaku atas segala jenis benda karena bahaya atau kemudharatan yang mungkin dapat terjadi partner dalam jual beli benda-benda tetap (‘Uqar) dapat pula terjadi pada partner jual beli benda-benda bergerak (benda yang dapat dipindahkan). Mereka juga beralasan pada hadis yang diriwayatkan oleh Jabir r.a:
“Rasulullah SAW: menetapkan Syuf’ah untuk segala sesuatu.”
b.      Ibn Qayyim mengatakan bahwa para perawi hadis ini adalah  syiqat.
     Dalil lain yang menggunakan hadist riwayat Ibnu Abbas r.a. bahwa Nabi SAW bersabda:

“Syuf’ah berlaku untuk segala sesuatu.”

     Ibnu Hazm berpendapat Syuf’ah wajib pada setiap penjualan barang musya’ yang tidak dapat dibagi antara dua orang atau ia telah mengetahuinya kemudian memperlambat permintaan tabpa adanya uzur,maka haknya gugur. Alasannya ialah jika Syafi’i memperlambat permintannya niscaya hal ini berbahaya buat pembeli, karena pemiliknya terhadap barang yang dibeli tidak mantap (labil) dan tidak memungkinkan ia bertindak untuk membangunnya karena takut tersia-sianya usaha dan takut syuf’ah.

     Jika Syafi’i tidak ada atau belum mengetahui penjualan atau tidak mengetahui bahwa memperlambat danpat menggugurkan syuf’ah dalam keadaan seperti ini haknya tidak gugur. Salah satu riwayat dari Abu Hanifah bahwa permintaan tidak wajib dengan segera setelah mengetahui, karena ssyafi’i memerlukan pertimbangan dalam persoalan ini, maka ia berhak khiar seperti khiar dalam jual beli.
    
     Inbu Hazm berpendapat bahwa penetapan Syuf’ah diwajibkan oleh Allah, maka ia tidak boleh gugur karena tertinggalnya permintaan 80 tahun sekalipun kecuali jika Syafi’i sendiri yang menggugurkannya.
     Malik berpendapat bahwa Syafi’i tidak wajib meminta dengan segera, tetapi waktunya luas menurut Ibnu Rusyd dalam penentuan waktunya mazhab Maliki berbeda-beda. Dalam salah satu pendapatnya bahwa waktunya, tidak terbatas ia sama sekali tidak terputus kecuali bila barangnya mengalami perubahan besar dengan sepengetahuan Syafi’i ia hadir mengetahui dan diam. Dalam pembatasan waktunya pun berbeda-beda. Menurut salah satu riwayat limitnya adalah satu tahun, menurut riwayat lain waktunya 1 tahun lebih dan menurut riwayat yang lain dalam Mazhab Maliki dikatakan bahwa 5 tahun tidak membuat Syuf’ah terputus.

c.       Syafi’i memberikan kepada pembeli sejumlah harga yang telah ditentukan ketika akad, kemudian Syafi’i mengambil syuf’ah harga yang sama jika jual beli itu mitslian atau dengan suatu nilai jika dihargakan.
Dalam salah satu hadis dari Jabir r.a. Rasulullah Saw bersabda:
هُوَ أَحَقُّ بِهِ بِالثَّمَنِ (رواه الجوزْجانيْ)
“Syafi’i lebih berhak dengan harganya” (Riwayat, Al-Jauzzani).

Bila Syafi’i tidak mampu menyerahkan keseluruhan harga, maka gugrlah Syuf’ah.
     Mazhab Maliki dan Mazhab Hanbali berpendapat bahwa apabila harga ditangguhkan semuanya atau sebagiannya, maka Syafi’i boleh menangguhkannya atau membayarnya secara kredit sesuai dengan ketentuan yang disepakati ketika akad, dengan syarat bahwa Syafi’i adalah orang kaya atau ada penanggungnya. Jika tidak demikian, ia wajib membayar ketika itu juga (kontan) untuk menjaga kemaslahatan pembeli.
     Al-Syafi’i dan penganut Mazhab Hanbali berpendapat bahwa Syafi’i boleh memilih, jika pembayaran disegerakan, maka syuf’ah pun disegerakan, jika tidak, maka terlambat sampai waktu tertentu..


d.      Syafi’i mengambil keseluruhan barang.
Maksudnya, jika Syafi’i meminta untuk mengambil sebagian, maka semua haknya gugur. Apabila syuf’ah terjadi antara dua syafi’i atau lebih, sebagian Syafi’i melepaskannya, maka Syafi’i yang lain harus menerima semuanya. Hal ini dimaksudkan agar benda Syuf’ah tidak terpilah atas pembeli.

2.      Syafi’  yaitu orang yang akan mengambil atau menerima syuf’ah syarat-syaratnya ialah sebagai berikut:
a.       Orang yang membeli secara Syuf’ah adalah partner dalam benda atau barang tersebut. Perpartneran mereka lebih dahulu terjadi sebelum penjualan, tidak adanya perbedaan batasan diantara keduanya sehingga benda itu menjadi milik mereka berdiri secara bersamaan.

Dalam hadis riwayat Khomsah dari Jabir r.a., dinyatakan:

“Rasulullah saw. Menetapkan syuf’ah untuk segala jenis yang tidak dipecah dan apabila terjadi batasan hak (had), kemudian perbedaan hak sudah jelas, maka tidak ada syuf’ah.”

     Ali, Utsman, Umar, Syaid al-Musayyab, Sulaiman bin Yasar, Umar bin Abdul Aziz, Rabi’ah Malik, Syafi’i, Audza’i, Ishaq, Ubaidillah bin Hasan, dan Imamiyah berpendapat bahwa Syuf’ah tidak berlaku terhadap batang yang apabila dibagi atau dipecah akan hilang manfaatnya, seperti kamar mandi, dan wc.

     Imam Malik meriwayatkan dari Syihab bin Abi Salamah bin Abdurrahman dan Said al-Musayyad:

“Rasulullah Saw. Menetapkan Syuf’ah untuk benda yang belum dibagi antara yang berserikat, jika terjadi pembahasan antara mereka, maka tidak ada Syuf’ah.”

     Tetangga menurut kebanyakan ulama tidak mendapatkan syuf’ah. Berbeda dengan pendapat Mazhab Hanafi, menurutnya syuf’ah itu bertingkat-tingkat, pertama adalah partner yang belum dibagi, kemudian partner yang sudah dibagi (Syarik Musaqim), dan terakhir tetangga yang berhimpitan.
     Sebagian ulama ada yang mengambil jalan tengah, pendapat ini menetapkan Syuf’ah untuk benda-benda berssama seperti jalan, air dan sejenisnya. Pendapat ini menafikkan dalam keadaan terbedakannnya tiap-tiap milik dengan jalan tidak adanya kebersamaan dalam barang yang dimiliki, untuk itu mereka beralasan pada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Asbab al Sunnah dari Jabir r.a. bahwa Nabi SAW, bersabda:

“Tetangga adalah yang paling berhak mendapatkan Syuf’ah milik tetangganya, ia boleh menunggu tetangganya jika ia tidak ada di tempat, apabila memang jalannya (dimana milik mereka berada) satu.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
جَارُ الدَّارِ أَحَقُّ بِالدَّارِ
“Tetangga rumah lebih berhak dengan rumahnya,” (HR. Tirmidzi dan Abu Dawud. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Al Irwaa’ no. 1539).
b.      Syarat yang kedua adalah bahwa Syafi’ meminta dengan segera.
Maksudnya, Syafi’i jika telah mengetahui penjualan, ia wajib meminta dengan segera jika hal itu memungkinkan.

3.      Masyfu’ min hu, yaitu orang tempat mengambil syuf’ah
Di isyaratkan pada masyfu’ min hu bahwa ia memiliki benda terlebih dahulu secara syarikat, contohnya ialah Umar dan Rahmat memiliki sebuah rumah secara syarikat. Umar menjual miliknya kepada Zakaria, waktu khiarnya hingga tinggal 20 Januari 1992. Kemudian Rahmat menjual pula haknya kepada Fatimah. Maka Zakaria dapat melakukan tindakan syuf’ah pada Fatimah.[8]

Rukun dan syarat Syuf’ah adalah sebagai berikut:
a.       Masyfu’, benda-benda yang dijadikan barang syuf’ah.
Berikut ini syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh benda-benda yang dijadikan syuf’ah. Barang yang disyuf’ahkan berbentuk benda tetap (‘uqar), seperti tanah, rumah, dan hal-hal yang berkaitan dengan keduanya seperti tanaman, bangunan, pintu, pagar, atap rumah, dan semuanya yang termasuk dalam penjualan saat dilepas.

b.      Syafi’ yaitu orang yang mengambil dan menerima syuf’ah.
Syarat-syaratnya adalah sebagai berikut; 1) Orang yang membeli syuf’ah adalah partner dalam benda atau barang tersebut. Perpartneran mereka lebih dahulu terjalin sebelum penjualan, tidak hanya perbedaan batasan di antara keduanya sehingga benda itu menjadimilik mereka berdua secara bersamaan. 2) Syafi’ meminta dengan segera, maksudnya, syafi jika telah mengetahui penjualan, ia wajib meminta dengan segera jika hal itu memungkinkan. Jika ia telah mengetahuinya, kemudian memperlambat permintaan tanpa adanya uzur, maka haknya gugur. 3) Syafi’ mengambil sebagian, maka semua haknya gugur. Apabila syuf’ah terjadi antara dua syafi’ atau lebih, sebagian syafi’ melepaskannya, maka syafi’ yang lain harus menerima semuanya. Hal ini dimaksudkan agar benda syuf’ah tidak terpilah-pilah atas pembeli.
c.       Masyfu’ min hu, yaitu orang tempat mengambil syuf’ah.
Disyaratkan pada syuf’ah min hu bahwa ia memiliki benda terlebih dahulu secara syarikat.[9]
D.      Pewarisan Syuf’ah
Malik, penduduk Hijaz dan Syafi’i berpendapat bahwa syuf’ah dapat diwariskan dan tidak batal karena adanya kematian.
Jika seseorang berhak memperoleh syuf’ah, kemudian meninggal dunia dan dia dalam keadaan tidak atau belum mengetahui atau ia tahu tetapi meninggal sebelum dapat melakukan pengambilan, maka haknya beralih kepada para  ahli waris. Alasannya ialah bahwa syuf’ah diqiyasskan kepada irts.
Menurut Imam Ahmad syuf’ah tidak dapat diwariskan, kecuali jika mayat menuntutnya. Sedangkan menurut Mazhab Hanafi, syuf’ah tidak dapat diwariskan dan tidak dapat dijual sekalipun mayat menuntut syuf’ah, kecuali jika hakim telah memutuskannya dan kemudian ia meninggal dunia.

E.       Tindakan Pembeli
Tindakan pembeli terhadap harta sebelum Syafi’i menerima syuf’ah dinyatakan sah karena ia bertindak terhadap miliknya. Jika suatu ketika pembeli menjualnya lagi kepada orang lain, Syafi’i berhak melakukan syuf’ah terhadap salah satu dari dua penjualan.
Jika pembeli harta menghibahkannya, mewakafkannya, menyedekahkannya atau yang sejenisnya, Syafi’i kehilangan hak syuf’ahnya sebab pemilikan barang tersebut tanpa ganti.
Tindakan pembeli yang telah didahului oleh tindakan syuf’ah oleh Syafi’i adalah bathil, sebab Syafi’i telah melaksanakan haknya dan  ada kemungkinan pembeli bermaksud mempermainkan hak Syafi’i.
Apabila seorang berdamai dalam masalah syuf’ah atau menjualnya dari pembeli, menurut al-Syafi’i perbuatan tersebut dinyatakan bathal dan menggugurkan hak syuf’ahnya serta berkewajiban mengembalikan benda-benda yang telah dia ambil. Menurut Imam Hanafi, Maliki dan Hanbali perbuatan itu sah dan dia berhak memiliki apa yang telah dia usahakan untuk dia miliki dari pembeli.[10]
F.       Hikmah disyariatkannya Syuf’ah
Islam mensyariatkan syuf’ah untuk mengantisipasi terjadinya kerugian dan bahaya. Pembelian kembali bagian seorang partner yang telah dibeli oleh pembeli dengan harga tertentu akan menguntungkan baginya (partner yang menjual bagiannya). Di samping itu, dapat menolak kerugian atau efek negatif dengan tidak merugikan partner yang menjual bagiannya dan pembelinya. Keduanya mendapat haknya secara sempurna.
Ibnu al-Qayyim menyatakan bahwa Syuf’ah adalah termasuk syariat yang baik, adil, dan menjunjung tinggi kemaslahatan umat. Dari sini dapat diketahui bahwa rekayasa untuk mengugurkan kepentingan umat sangat berlawanan dengan sesuatu yang menjadi tujuan syari’ (Allah SWT).[11]
Islam mensyari’atkan Syuf’ah untuk mencegah kemadharatan dan menghindari permusuhan. Karena hak kepemilikan Syafi’ dari pembelian orang lain (pihak lain) akan dapat mencegah kemungkinan adanya kemudharatan dari orang lainyang baru saja ikut serta. Imam Syafi’i memilih pendapat bahwa yang di maksud dengan madharat (bahaya) adalah kerugian biaya pembagian, risiko adanya pihak baruyang ikut serta dan lainnya. Ada juga ulama yang berpendapat bahwa maksud kemadharatan adalah risiko persekutuan.[12]
Hikmah disyari’atkan syuf’ah adalah untuk menghindari bahaya dan pertengkaran yang mungkin sekali timbul. Hal itu, karena hak milik syafii’ terhadap harta yang dijual yang hendak dibeli oleh orang lain menolak adanya madharat yang mungkin timbul dari orang lain tersebut. Imam Syafi’i lebih memilih bahwa bahaya tersebut adalah bahaya biaya pembagian, peralatan baru dsb. Ada yang mengatakan bahwa bahaya tersebut adalah bahaya tidak baiknya persekutuan.
Ibnul Qayyim berkata, “Di antara keindahan syari’at, keadilannya dan berusaha menegakkan maslahat hamba adalah mengadakan syuf’ah. Karena hikmah syari’ menghendaki dihilangkan madharrat dari kaum mukallaf semampu mungkin. Oleh karena serikat (bersekutu) itu biasanya sumber madharrat, maka dihilangkanlah madharrat itu dengan dibagikan atau dengan syuf’ah. Jika ia ingin menjual bagiannya dan mengambil ganti, maka kawan serikatnya itulah yang lebih berhak daripada orang lain, dapat menghilangkan madharat dari serikat itu dan tidak merugikan penjual, karena akan menghubungkan kepada haknya berupa bayaran. Oleh karena itu, syuf’ah termasuk di antara keadilan yang sangat besar dan hukum terbaik yang sejalan dengan akal, fitrah dan maslahat hamba.”

G.      Syuf’ah bagi Dzimmi

Menurut mayoritas ahli Fiqih, karena syuf’ah berlaku untuk orang muslim, maka ia juga berlaku untuk orang kafir dzimmi. Tetapi Ahmad, Hasan dan Syafi’i berpendapat bahwa syuf’ah tidak berlaku untuk orang kafir dzimmi, berdasarkan dalil hadits yang diriwayatkan oleh Daruquthni dari Anas, bahwa Nabi saw bersabda,

لاَ شُفْعَةَ لِنَصْرَانِيْ.

“ Tidak berlaku syuf’h bagi orang nasrani.”

H.      Objek syuf’ah

Objek syuf’ah adalah tanah yang belum dibagi-bagi, diikuti pula dengan apa yang ada di dalamnya berupa pepohonan dan bangunan. Jika tanahnya sudah dibagi-bagi, tetapi masih ada perlengkapan yang diserikati antara beberapa tetangga, seperti jalan, air, dan sebagainya, maka menurut pendapat yang shahih dari dua pendapat ulama bahwa syuf’ah tetap berlaku. Hal ini berdasarkan mafhum sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ketika batasannya telah ditentukan dan jalan telah diatur, maka tidak ada lagi syuf’ah.” Sehingga jika jalan belum diatur, maka syuf’ah masih berlaku.

Imam Bukhari meriwayatkan dari Jabir bin Abdillah

قَضَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالشُّفْعَةِ فِي كُلِّ مَالٍ لَمْ يُقْسَمْ فَإِذَا وَقَعَتْ الْحُدُودُ وَصُرِّفَتْ الطُّرُقُ فَلَا شُفْعَةَ

Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan syuf’ah pada harta yang belum dibagi-bagi, ketika batasannya telah ditentukan dan jalan telah diatur, maka tidak ada lagi syuf’ah.

Syaikh Taqiyyuddin berkata, “Syuf’ah tetangga tetap berlaku ketika terjadi persekutuan dalam sebuah hak di antara hak-hak kepemilikan, seperti jalan, air, dan sebagainya. Hal ini disebutkan oleh Ahmad, dan dipilih oleh Ibnu ‘Aqil, Abu Muhammad dan lain-lain. Al Haritsi berkata, “Inilah yang harus dipegang dan di dalamnya terdapat sikap menggabung hadits-hadits yang ada.  Hal itu, karena tetangga tidaklah menghendaki adanya syuf’ah kecuali jika jalannya satu dan semisalnya. Di samping itu, syariat syuf’ah adalah untuk menolak madharat, dan madharat itu biasanya terjadi ketika ada percampuran pada sesuatu yang dimiliki, atau dalam hal jalan dan semisalnya.”

          Meminta izin kepada kawan sekutu ketika hendak menjual

Bagi kawan sekutu wajib meminta izin kepada kawan sekutunya yang lain sebelum dilakukan penjualan. Jika ternyata langsung dijual tanpa izinnya, maka dia lebih berhak daripada yang lain. Tetapi jika kawan sekutunya mengizinkan dijual (kepada yang lain) dan berkata, “Saya tidak butuh terhadapnya,” maka setelahnya kawan sekutu tidak dapat menuntut lagi. Inilah ketetapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Imam Muslim meriwayatkan dari Jabir ia berkata:

قَضَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِالشُّفْعَةِ فِى كُلِّ شِرْكَةٍ لَمْ تُقْسَمْ رَبْعَةٍ أَوْ حَائِطٍ. لاَ يَحِلُّ لَهُ أَنْ يَبِيعَ حَتَّى يُؤْذِنَ شَرِيكَهُ فَإِنْ شَاءَ أَخَذَ وَإِنْ شَاءَ تَرَكَ فَإِذَا بَاعَ وَلَمْ يُؤْذِنْهُ فَهْوَ أَحَقُّ بِهِ.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan syuf’ah dalam semua persekutuan yang belum dibagi; baik rumah maupun kebun, tidak halal bagi seseorang menjualnya sampai memberitahukan kawan sekutunya. Jika ia mau, ia berhak mengambil dan jika mau, ia berhak ditinggalkan. Apabila dijual, namun belum memberitahukannya, maka ia lebih berhak terhadapnya.”



Dari Jabir juga ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ كَانَ لَهُ شَرِيكٌ فِى رَبْعَةٍ أَوْ نَخْلٍ فَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَبِيعَ حَتَّى يُؤْذِنَ شَرِيكَهُ فَإِنْ رَضِىَ أَخَذَ وَإِنْ كَرِهَ تَرَكَ

Barang siapa yang memiliki bagian pada sebuah rumah atau pohon kurma, maka ia tidak berhak menjualnya sampai memberitahukan kawan sekutunya. Jika ia suka, ia berhak mengambilnya dan jika ia tidak mau, maka ia tinggalkan. (HR. Muslim)

Hadits ini menunjukkan tidak halalnya melakukan penjualan sebelum ia tawarkan kepada kawan sekutunya.

Ibnu Hazm berkata, “Tidak halal bagi seorang yang memiliki hal itu langsung menjualnya sampai ia tawarkan kepada sekutunya atau para sekutunya. Jika sekutunya mau mengambilnya dengan harga seperti orang lain, maka sekutu lebih berhak. Jika ternyata ia tidak mau (membelinya), maka gugur haknya dan ia tidak berhak lagi setelahnya apabila telah dijual kepada pembelinya. Tetapi, jika ia belum menawarkan (kepada kawan sekutu) seperti yang telah kami terangkan, ia pun langsung menjual kepada selain kawan sekutu, maka sekutunya berhak khiyar antara meneruskan jual beli itu atau membatalkannya dan mengambil bagian itu untuk dirinya dengan harganya.”

Ibnul Qayyim berkata, “Haram bagi sekutu menjual bagiannya sampai diizinkan kawan sekutunya. Jika ternyata dijual tanpa izinnya, maka ia lebih berhak, namun jika diizinkannya untuk dijual dan kawan sekutunya itu mengatakan, “Saya tidak perlu lagi pada bagian ini,” maka sekutu ini tidak bisa lagi menuntut setelah dijual. Ini adalah konsekwensi hukum syara’ dan tidak ada penentangnya dari sisi (apa pun), dan inilah yang benar sekali.”

Apa yang dikatakan Ibnul Qayyim di atas, yakni bahwa syuf’ah menjadi gugur ketika pemilik syuf’ah menggugurkannya sebelum dilakukan jual beli merupakan salah satu di antara dua pendapat dalam masalah ini, adapun menurut yang lain, dimana ini adalah pendapat jumhur, bahwa syuf’ah tidaklah gugur dengannya, dan izin menjualnya tidaklah membatalkannya, wallahu a’lam.
Sebagian ulama, di antaranya adalah ulama madzhab Syafi’i berpendapat bahwa perintah tersebut hanyalah sebagai anjuran. Imam Nawawi berkata, “Hal itu menurut kawan-kawan kami menunjukkan sunat untuk memberitahukannya dan makruhnya dijual sebelum diberitahukan, namun tidak haram.”

I.         Filsafah Al-Syuf’ah
Kita semua tahu bahwa segala perintah atau aturan baik itu bersifat samawi (berasal dari Tuhan) maupun ardhi (buatan manusia) menyatakan adanya Syuf’ah. Syariat Nabi Muhammad yang terang benderang memperbolehkan dan menetapkan hal ini karena adanya beberapa faedah.

Penjelasannya bahwa ada salah satu dari dua orang yang bersekutu dan ingin menjual bagian dari rumah atau tanahnya. Kemudian datanglah seorang pembeli yang barangkali adalah musuh bagi sekutu yang lain dan membeli bagian ini kemudian bersandingan (bertetangga) dengannya. Dan, kalian tahu bahwa kebanyakan tetangga apabila tidak memenuhi kriteria yang ditentukan akan mengakibatkan kebencian dalam jiwa dan rasa dengki dalam hati. Terlebih jika ada rasa iri dari tetangga. Maka, secara tidak langsung seseorang telah menyakiti teman sekutu­nya yang lain dengan adanya tetangga ini.[13]

Barangkali orang yang membeli itu berakhlak jelek dan jiwanya buruk yang tidak mengetahui hak tetangga, maka hal itu akan menyakiti tetangganya. Rasulullah telah bersabda :

مَازَالَ جِبْرِيْلُ يُوَصِّنِيْ بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ

Malaikat Jibril selalu berpesan kepadaku untuk senantiasa berbuat baik kepada tetangga, sehingga aku menyangka bahwa tetangga itu akan menjadi ahli waris”.

Beliau juga bersabda,
مَنْ كَانَ يُؤْمِنَ بِااللهِ وَاْليَوْمِ الْاَخِرِ فَالْيُكْرِمْ جَارَهُ

Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hedaklah ia memuliakan tetangganya.”

Barangkali tetangganya membutuhkan bagian ini, misalnya untuk dijadikannya sebagai rumah, atau barang kali tokonya sempit dan ingin memperluasnya, atau tanah itu bersebelahan dengan tanah pertaniannya dan ia sangat membutuhkannya. Demikianlah di antara hal-hal yang memberi faedah kepada tetangga.

Oleh karena itu, Al-Syari' yang bijaksana menjadikan dan memperbolehkan Syuf’ah. Seorang tetangga atau sekutu me­miliki hak dalam prioritas atau hak lebih dahulu daripada yang lainnya kecuali jika haknya tersebut gugur dengan adanya halangan untuk membeli. Adapun mengenai tipu daya yang rusak atau batil yang dijadikan pembeli untuk menyakiti tetangga, maka Al-Syari' mengecamnya dan tidak ridha sama sekali. Namun, apabila tipu daya itu berisi tentang penghilangan bahaya, maka diperbolehkan secara syara.[14]

Tindakan Pembeli

Tindakan pembeli terhadap harta sebagia Syafi’i menerima syuf’ah dinyatakan sah karena ia bertindak terhdap miliknya. Jika suatu ketika pembeli menjualnya lagi kepada orang lain, syafi’i berhak melakukan syuf’ah terhadap salah satu dari dua penjualan. Jika pembeli harta mengibahkannya, mewakafkannya, menyedekahkannya atau yang sejenisnya, Syafi’i kehilangan hak syuf’ahnyasebab pemilikan barang tersebut tanpa ganti.

Tindakan pembeli yang telah didahului oleh tindakan syuf’ah oleh Syafi’i adalah bathil sebab Syafi’i telah melaksanakan haknya dan ada kemungkinanpembeli bermaksud mempermainkan hak Syafi’i. Apabila seseoran berdamai dalam masalah syuf;ah aatau menjalnya dari pembeli, menurut al-syafi’i perbuatan tersebut dinyatakan bathal dan menggugurkan hak syuf’ahnya serta berkewajiban mengembalikan benda-benda yang telah diambil. Menurt Imam Hanafi, Maliki dan Hanbali perbuatan itu sah dan dia berhak memiliki apa yang telah dia usahakan untuk dia miliki dari pembeli.[15]









BAB III
PENUTUP


Kesimpulan
Syuf’ah adalah pemilikan barang syuf’ah oleh Syafi’ sebagai pengganti dari pembeli dengan membayar harga barang kepada pemiliknya, sesuai dengan nilai yang biasa dibayar oleh pembeli lain.

Jika didalam Syuf’ah berlaku untuk perkongsian, maka sesungguhnya dia berlaku untuk barang yang dapat dibagi. Partner dipaksakan untuk membagi dengan syarat ia dapat memanfaatkan bagiannya itu, seperti ketika barang tersebut belum dibagi. Oleh karena itu, Syuf’ah tidak berlaku untuk barang yang apabila dibagi/dipecah manfaatnya menjadi tidak ada.

Penjelasannya bahwa ada salah satu dari dua orang yang bersekutu dan ingin menjual bagian dari rumah atau tanahnya. Kemudian datanglah seorang pembeli yang barangkali adalah musuh bagi sekutu yang lain dan membeli bagian ini kemudian bersandingan (bertetangga) dengannya. Dan, kalian tahu bahwa kebanyakan tetangga apabila tidak memenuhi kriteria yang ditentukan akan mengakibatkan kebencian dalam jiwa dan rasa dengki dalam hati. Terlebih jika ada rasa iri dari tetangga. Maka, secara tidak langsung seseorang telah menyakiti teman sekutu­nya yang lain dengan adanya tetangga ini.                                                       







DAFTAR PUSTAKA


Hilmi, Karim, Fiqih Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Mardani,Ayat-ayat dan Hadis ekonomi Syariah,Rajawali Pers:Jakarta,2012.
Mardani,Fiqh Ekonomi Syariah:Fiqh Muamalah,Kencana:Jakarta,2012.
Prof. Dr. Hj. Enizar, M.A , Syarah hadis ekonomi,diambil dari
Rasjid,Fiqh Islam,Sinar Baru Algessindo:Bandung,2013..
Sabiq, Sayyid, fiqh al-sunnah, (Dar al-fiqr: Kairo, 1997), hl 45.
Suhendi,Hendi,Fiqh Muamalah, Rajawali Pers:Jakarta,2010.
Tamrin, Dahlan, Filsafat Hukum Islam, UIN Press. Malang: 2012
http://salehfaisal.blogspot.co.id/2014/06/syufah.html, diakses 15 Oktober 2016
  http://kaharazisp.blogspot.co.id/2013/05/normal-0-false-false-false-in-x-none-ar.html, diakses pada tanggal 15 Oktober 2016 pukul 22:21 WIB.
http://airimuchtar.blogspot.co.id/2014/07/iqalah-iqalah-secara-bahasa-berarti.html.







[1] Hendi Suhendi,Fiqh Muamalah, Rajawali Pers:Jakarta,2010.h.161.
[2]Karim Hilmi, Fiqih Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
[3]Mardani,Ayat-ayat dan Hadis ekonomi Syariah,Rajawali Pers:Jakarta,2012.h.146-147.
[4] Mardani,Fiqh Ekonomi Syariah:Fiqh Muamalah,Kencana:Jakarta,2012.h.316.
[5]Rasjid,Fiqh Islam,Sinar Baru Algessindo:Bandung,2013.h.336.
[6]Sayyid Sabiq, fiqh al-sunnah, (Dar al-fiqr: Kairo, 1997), hl 45.
[7] Prof. Dr. Hj. Enizar, M.A , Syarah hadis ekonomi,diambil dari http://salehfaisal.blogspot.co.id/2014/06/syufah.html, diakses 15 Oktober 2016
[8]Hendi Suhendi,Fiqh Muamalah, Rajawali Pers:Jakarta,2010.h.162-167.
[9] Mardani,Fiqh Ekonomi Syariah:Fiqh Muamalah,Kencana:Jakarta,2012.h.317.
[10] Ibid,h.168.
[11] Mardani,Fiqh Ekonomi Syariah:Fiqh Muamalah,Kencana:Jakarta,2012.h.318.
[12] http://kaharazisp.blogspot.co.id/2013/05/normal-0-false-false-false-in-x-none-ar.html, diakses pada tanggal 15 Oktober 2016 pukul 22:21 WIB.
[13] Dahlan Tamrin, Filsafat Hukum Islam, UIN Press. Malang: 2012 ,hlm 27.
[14] Ibid,h. 28.
[15] http://airimuchtar.blogspot.co.id/2014/07/iqalah-iqalah-secara-bahasa-berarti.html.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

tafsir ayat jual beli

A.   Pemahaman soal š ú ï Ï % © ! $ # t b q è = à 2 ù ' t ƒ ( # 4 q t / Ì h  9 $ # Ÿ w t b q ã B q à ) t ƒ ž w Î ) $ y J x...