SYUF’AH
Makalah ini
disusun guna memenuhi Tugas Mata Kuliah:
Hadits Ekonomi
dan Perbankan Syariah 1
Dosen pengampu
: Khoirurroji’in,Lc.,M.Pd.I.
![]() |
Disusun Oleh:
Kelompok 4
Evi Setianingsih 1502100050
Eva Wahyu Wulandari 1502100049
Imes Kurnia Sari 1502100080
Iisnaini Rahmawati 1502100060
Kelas B
PROGRAM STUDI
SI PERBANKAN SYARIAH
JURUSAN SYARIAH
DAN EKONOMI ISLAM
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM (STAIN) JURAI SIWO METRO
2016
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan
kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan kenikmatan kepada penulis khususnya umumnya
untuk kita semua, karena berkat hidayah dan inayah-Nya penulis bisa
menyelesaikan makalah ini, shalawat beserta salam marilah kita curahkan kepada
junjungan kita yakni nabi Muhammad SAW.
Penulis mengucapkan terima kasih
kepada Dosen pengampu mata kuliah “Hadist Ekonomi dan
Perbankan Syariah 1” yang telah membimbing penulis di dalam penyusunan
makalah ini, serta mengucapkan yerima kasih pula terhadap semua rekan rekan
yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan makalah ini. Namun penulis
menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna, oleh karena itu saran dan
kritik yang membangun penulis harapkan demi perbaikan dan kebaikan.
Semoga makalah ini menjadi khazanah
keilmuan khususnya bagi penulis umumnya bagi yang membaca dan Semoga makalah ini memberikan informasi bagi
mahasiswa dan bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu
pengetahuan bagi kita semua
Metro,
Oktober 2016
Penulis
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar............................................................................................... ii
Daftar
Isi......................................................................................................... iii
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang.................................................................................... 1
B.
Rumusan
Masalah.............................................................................. 1
C.
Tujuan
Masalah.................................................................................. 2
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Definisi
Syuf’ah.................................................................................... 3
B.
Hukum
Disyariatkannya Syuf’ah....................................................... 7
C.
Rukun
dan Syarat Syuf’ah................................................................. 7
D.
Pewaris
Syuf’ah.................................................................................. 13
E.
Tindakan
Pembeli.............................................................................. 13
F.
Hikmah
disyariatkannya Syuf’ah..................................................... 14
G.
Syuf’ah bagi
Dzimmi.......................................................................... 15
H.
Objek syuf’ah..................................................................................... 16
I.
Filsafah
Syuf’ah................................................................................. 19
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan...................................................................................................
22
Daftar
Pustaka.............................................................................................. 23
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Syariat Islam digunakan untuk mewujudkan kebenaran dan keadilan,
menyingkirkan kejahatan dan menyingkirkan kemadharatan. Ia memiliki aturan yang
lurus dan hukum-hukum yang adil demi tujuan yang terpuji dan maksud-maksud yang
mulia. Pengaturannya didasarkan pada pertimbangan kemaslahatan dan sesuai
dengan hikmah dan kebenaran. Karena itulah ketika ada persekutuan dalam
benda-benda yang tidak bergerak (seperti tanah dan rumah), seringkali terjadi
kerusuhan dan menjurus kapada tindak kejahatan sehingga sulit dilakukan
pembagian terhadap barang itu, maka pembuat syari’at yang bijaksana menetapkan
Syuf’ah bagi sekutu atau mitra usaha.
Dengan kata lain, jika salah seorang dari dua sekutu menjual bagiannya dari
benda-benda yang tidak bergerak dan menjadi persekutuan diantara keduanya, maka
bagi sekutu yang tidak menjual, dapat mengambil bagian dari pembeli dengan
harga yang sama, sebagai upaya untuk menghindarkan kerugiannya karena persekutuan
itu. Hal ini berlaku bagi seorang sekutu selagi benda-benda yang tidak bergerak
yang disekutukan belum dibagi, tidak diketahui batasan-batasannya dan tidak
dijelaskan jalan-jalannya. Tapi jika batasan-batasan dan garis-garis pemisahnya
diketahui antara dua bagian dan jalan-jalannya dijelaskan, maka tidak ada
Syuf’ah karena dampak persekutuan dan percampur adukan hak milik sudah tidak
ada, yang karenanya ada penetapan terhadap permintaan hak untuk melepaskan
barang yang dijual dari pembeli. Dan dalm makalah ini akan diulas lebih jelas
lagi apa Syuf’ah itu, dan bagaimana filsafah dari Syuf’ah itu sendiri.
B.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam pembahasan makalah ini adalah:
1.
Apa
yang dimaksud dengan Syuf’ah?
2.
Bagaimana
Landasan hukum apa yang di pakai adanya Syuf’ah?
3.
Apa
saja rukun dan syarat dalam Syuf’ah?
4.
Adakah
pewaris di dalam Syuf’ah itu?
5.
Apa
hikmah dengan adanya Syuf’ah?
C.
Tujuan Masalah
Tujuan
dari pembahasan dalam makalah ini adalah:
1. Mengetahui definisi dari Syuf`ah.
2. Mengetahui landasan hukum yang dipakai
Syuf’ah.
3. Mengetahui rukun-rukun serta syarat-syarat
dalam Syuf’ah.
4. Mengetahui pewarisan dalam Syuf’ah.
5. Mengetahui hikmah adanya Syuf’ah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Syuf’ah
As-Syuf’ah menurut bahasa artinya al-Dham, al-Taqwiyah dan al-I’anah.
Sedangkan menurut istilah, para ulama menafsirkan al-Syuf’ah sebagai
berikut.
1.
Menurut
Syaikh Ibrahim al-Bajuri bahwa yang dimaksud dengan al-Syuf’ah ialah:
Hak memiliki sesuatu secara paksa ditetapkan untuk syarik terdahulu
atas syarik yang baru disebabkan adanya syirkah dengan penggantian (i’wadh)
yang dimilikinya, disyariatkan untuk mencegah kemudharatan.”[1]
2.
Menurut
Sayyid Sabiq, al-Syuf’ah ialah pemilikan benda-benda Syuf’ah oleh
Syafi’i sebagai pengganti dari pembeli dengan membayar harga barang
kepada pemiliknya sesuai dengan nilai yang biasa dibayar oleh pembeli lain.
3.
Menurut
Idris Ahmad, al-Syuf’ah ialah hak yang tetap secara paksa bagi syarikat
lama atas syarikat baru dengan jalan ganti kerugian pada benda yang menjadi
milik bersama.
Dari
definisi-definisi yang dijelaskan oleh para ulama diatas kiranya kurang kurang
dapat dipahami bila tidak dilengkapi dengan contoh. Contoh syuf’ah adalah
sebagai berikut:
Umar membeli
satu buah rumah bersama dengan ja’far rumah tersebut terdiri atas delapan
kamar, empat kamar untuk Umar dan empat milik Ja’far. Kemudian Ja’far hendak
menjual kamarnya kepada yang lain, dalam hal ini Umar dapat memaksa Ja’far
untuk menguasai kamar milikknya dengan imbalan sebagaimana layaknya berlaku,
artinya Umar lebih berhak membeli daripada orang lain.
Setelah
diketahui taritarif yang dikemukakan oleh para ulama beserta contohnya, kiranya
dapat dipahami bahwa al-syuf’ah ialah pemilikan oleh salah seorang
sya’riq dari dua orang atau pihak yang berserikat dengan paksaan terhadap benda
syirkah.
Pada riwayat
lain disebutkan bahwa rosulullah saw bersabda:
مَنْ كَانض لهُ شِرْكٌ فِى نَخْلِ
اَوْرُعْبَةٍ فَلَيْسَ لَهُ اَنْ يَبِيْعَ حَتَّ يُؤْذِن شَرِيْكُهُ فَإِنْ رَضِىَ
اَخَذُ وَاِنْ كَرِهَ تَرك
Artinya:
“Barang siapa yang mengadakan persekutuan dlam kepemilikan kebun atau
rumah, maka salah seorang diantara mereka tidak boleh menjual haknya, sebelum
mendapat izin dari semua pihak uyang ikut dalam persekutuan itu. Bila ia ingin juga
menjualnya, sedangkan para anggota persekutuan tersebut ada yang berminat
kepada bagian yang dijual tersebut, maka orang yang berminat itu berhak
mengambil (membelinya), dan bila ia tidak berminat, maka ia berhak untul
meninggalkannya.”[2]
Hadis Ke-33
“Dari Jabir bin Abdullah R.a., dia
berkata, Nabi SAW menjadikan (dalam suatu lafazh:menetapkan) Syuf’ah dalam
segala bagian yang belum dibagi. Jika sudah ditetapkan batasan-batasan barang
dan jalan-jalannya sudah dijelaskan, maka tidak ada syut’ah’.” (HR Bukhari-Muslim)
Kesimpulan Hadist:
1.
Hadis
ini merupakan dasar dalam menetapkan syuf’ah, yang juga disandarkan kepada
ijma’.
2.
Kandungan
hadis ini mengisyaratkan penetapan syuf’ah dalam benda-benda yang bergerak.
Tapi susunan kalimatnya hanya dikhususkan untuk benda-benda yang tidak
bergerak, tapi dapat disertai dengan pepohonan dan bangunan jika berkenaan
dengan tanah.
3.
Syuf’ah
berlaku untuk benda-benda tak bergerak yang disekutukan, yang
batasan-batasannya belum ditetapkan, tidak dijelaskan jalan-jalannya, karena
kerugian sekutu yang meminta syuf’ah.
4.
Jika
batasan-batasannya sudah ditetapkan dan jalan-jalannya dijelaskan, maka tidak
ada lagi syuf’ah, karena kerugian tidak lagi ada dan sudah ada pembagian yang
jelas dan tidak ada lagi pencempuradukan.
5.
Atas
dasar ini, syuf’ah tidak berlaku untuk tetangga, karena sudah ada kejelasan
batasan tanah. Dibagian mendatang akan dijelaskan syuf’ah untuk sesuatu yang
didalamnya ada manfaat bersama antara dua tetangga.
6.
Sebagian
ulama berhujjah dengann hadis ini bahwa syu’fah tidak berlaku kecuali unntuk
benda-benda yang tidak bergerak yang memungkinkan dapat dibagi, namun
menyisakan sebagian yang tidak dapat dibagi, yang disimpulkan dari sabda
beliau,”Untuk segala sesuatu yang tidak dapat dibagi.” Sebab benda yang tidak
dapat dibagi, tidak membutuhkan penafiannya.
7.
Syuf’ah
ditetapkan untuk menghindarkan kerugian sekutu. Karena itulah dikhususkan untuk
benda-benda yang tidak bergerak, karena persekutuan untuk benda-benda ini
relatif lebih sedikit, yang dapat dituntaskan dengan berbagai macam cara, dapat dibagi tanpa harus
melakukan pekerjaan yang berat, tidak perlu menjual atau yang lainnya.[3]
Secara
etimologis kata syuf’ah terambil dari kata syaf’u karena syafi’ (pemohon
syuf’ah) bagiannya tersendiri pada miliknya. Syuf’ah berarti menggabungkan
bagian mitranya kepadanya sehingga menjadi tergabung. Bisa juga berasal dari
kata syafa’ah, karena pada zaman jahiliah jika seseorang akan menjual rumahnya,
kawan atau tentangnya mendatanganinya untuk menggabungkan diri tentang apa yang
akan dijual. Kemudian penjual memprioritaskan kepada orang yang lenih dekat
hubungannya dari pada orang yang jauh.
Adapun syuf’ah
secara terminologis adalah hak seorang partner untuk membeli secara paksa
bagian father lain yang telah dijual kepada orang lain dengan harga yang
sesuai.[4]
Syuf’ah ialah
hak yang diambil dengan paksa oleh serikat lama dari serikat baru.[5]
Menurut syara’
Syuf’ah adalah, pemilikan barang Syuf’ah oleh Syafi’ sebagai pengganti dari
pembeli dengan membayar harga barang kepada pemiliknya, sesuai dengan nilai
yang biasa dibayar oleh pembeli lain.[6]
Dalam buku
diktat dijelaskan bahwa Syuf’ah secara etimologi mempunyai makna pasangan;
tambahan; dan pertolongan. Dalam konteks ini semua makna bahasa ini dapat masuk
kedalamnya, karena Syuf’ah terkait dengan milik bersama. Sedangkan secara
terminologi, Syuf’ah mempunyai makna perpindahan hak dan tanggung jawab salah
satu mitra kepada mitra lain dengan penggantian standar. Adanya pemindahan hak
atau kewajiban terhadap sesuatu yang menjadi obyek syirkah yang tidak dapat
dipisahkan kepada orang lain tentu saja memerlukan aturan khusus sehingga tidak
mengganggu komitmen yang sudah dibuat oleh pihak yang bermitra.
Dalam kegiatan
ekonomi, di samping usaha dan modal sendiri dapat juga dilakukan oleh beberapa
orang secara bersama-sama. Namun dalam perjalanannya mungkin saja salah seorang
atau beberapa orang ingin keluar dari kerjasama tersebut. Keluarnya salah
seorang atau beberapa orang yang mempunyai hak dalam asset bersama itu, tentu
tidak mudah dan perlu adanya aturan, sehingga tidak merugikan pihak yang ikut
dalam kerjasama tersebut.
Dua orang atau
lebih yang bekerja sama atau memiliki suatu barang secara bersama diatur secara
khusus. Mereka tidak mempunyai kebebasan mutlak dalam mengalihkan barang yang
dimilikinya kepada siapa yang diinginkannya. Mereka harus mengikuti aturan
khusus jika bermaksud mengeluarkan haknya.[7]
B.
Hukum Disyariatkannya Syuf’ah
Syuf’ah adalah hak yang tetap berdasarkan hadis dan ijma’.
1.
Dasar
hadis, yaitu Hadis Riwayat Bukhari Muslim yang bersumber dari Jabir ibn
Abdullah r.a. ia berkata:
“Rasulullah SAWmemutuskan dengan syuf’ah pada setiap barang yang
belum dibagi. Namun, jika telah ditetapkan batas-batasannyadan dibuat
jalan-jalannya, tidak ada lagi syuf’ah padanya.” (HR.Bukhari-Muslim).
2.
Dasar
ijma’
Dasar ijma’ adalah ucapan
Ibnu Munzir, “Ulama sepakat ditetapkannya syuf’ah bagi partner pada
sesuatu yang belum dibagi, berupa tanah,
rumah, atau kebun. Dan Ibnu Hubairah berkata: “Ulama sepakat bahwa syuf’ah
adalah wajib bagi partner.
C.
Rukun dan Syarat Syuf’ah
Rukun-rukun dan syarat-syarat al-syuf’ah adalah:
1.
Masyfu’,
benda-benda yang dijadikan barang al-syuf’ah.
Berikut ini syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh benda-benda yang
dijadikan benda Syuf’ah.
a.
Barang
yang disyuf’ahkan berbentuk barang tetap (‘uqar) seperti: tanah, rumah dan
hal-hal yang berkaitan dengan keduanya seperti tanaman, bagunan, pintu-pintu,
pagar atap rumah dansemua yang termasuk dalam penjualan pada saat dilepas.
Pendapat ini adalah pendapat jumhur ahli fiqh, sedangkan alasan yang digunakan
adalah sebuah hadis dari Jabir r.a.:
قَضَى رسول الله
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالشُّفْعَةِ فِي كُلِّ مَالٍ لَمْ يُقْسَمْ
فَإِذَا وَقَعَتْ الْحُدُودُ وَصُرِّفَتْ الطُّرُقُ فَلَا شُفْعَةَ
“Rasulullah SAW: menetapkan untuk setiap benda syirkah yang tidak dapat
dibegi-bagi seperti rumah atau kebun”
Pendapat diatas dibantah oleh segolongan penduduk Mekkah,
al-Zahiriyah, dan suatu riwayat dari Ahmad. Mereka berpendapat bahwa Suf’ah
berlaku atas segala jenis benda karena bahaya atau kemudharatan yang mungkin dapat
terjadi partner dalam jual beli benda-benda tetap (‘Uqar) dapat pula terjadi
pada partner jual beli benda-benda bergerak (benda yang dapat dipindahkan).
Mereka juga beralasan pada hadis yang diriwayatkan oleh Jabir r.a:
“Rasulullah SAW: menetapkan Syuf’ah untuk segala sesuatu.”
b.
Ibn
Qayyim mengatakan bahwa para perawi hadis ini adalah syiqat.
Dalil lain yang
menggunakan hadist riwayat Ibnu Abbas r.a. bahwa Nabi SAW bersabda:
“Syuf’ah berlaku untuk segala sesuatu.”
Ibnu Hazm berpendapat
Syuf’ah wajib pada setiap penjualan barang musya’ yang tidak dapat dibagi
antara dua orang atau ia telah mengetahuinya kemudian memperlambat permintaan
tabpa adanya uzur,maka haknya gugur. Alasannya ialah jika Syafi’i memperlambat
permintannya niscaya hal ini berbahaya buat pembeli, karena pemiliknya terhadap
barang yang dibeli tidak mantap (labil) dan tidak memungkinkan ia bertindak
untuk membangunnya karena takut tersia-sianya usaha dan takut syuf’ah.
Jika Syafi’i tidak ada
atau belum mengetahui penjualan atau tidak mengetahui bahwa memperlambat danpat
menggugurkan syuf’ah dalam keadaan seperti ini haknya tidak gugur. Salah satu
riwayat dari Abu Hanifah bahwa permintaan tidak wajib dengan segera setelah
mengetahui, karena ssyafi’i memerlukan pertimbangan dalam persoalan ini, maka
ia berhak khiar seperti khiar dalam jual beli.
Inbu Hazm berpendapat
bahwa penetapan Syuf’ah diwajibkan oleh Allah, maka ia tidak boleh gugur karena
tertinggalnya permintaan 80 tahun sekalipun kecuali jika Syafi’i sendiri yang
menggugurkannya.
Malik berpendapat bahwa
Syafi’i tidak wajib meminta dengan segera, tetapi waktunya luas menurut Ibnu
Rusyd dalam penentuan waktunya mazhab Maliki berbeda-beda. Dalam salah satu
pendapatnya bahwa waktunya, tidak terbatas ia sama sekali tidak terputus
kecuali bila barangnya mengalami perubahan besar dengan sepengetahuan Syafi’i
ia hadir mengetahui dan diam. Dalam pembatasan waktunya pun berbeda-beda.
Menurut salah satu riwayat limitnya adalah satu tahun, menurut riwayat lain
waktunya 1 tahun lebih dan menurut riwayat yang lain dalam Mazhab Maliki
dikatakan bahwa 5 tahun tidak membuat Syuf’ah terputus.
c.
Syafi’i
memberikan kepada pembeli sejumlah harga yang telah ditentukan ketika akad,
kemudian Syafi’i mengambil syuf’ah harga yang sama jika jual beli itu mitslian
atau dengan suatu nilai jika dihargakan.
Dalam salah satu hadis dari Jabir r.a. Rasulullah Saw bersabda:
هُوَ أَحَقُّ
بِهِ بِالثَّمَنِ (رواه الجوزْجانيْ)
“Syafi’i lebih berhak dengan harganya” (Riwayat, Al-Jauzzani).
Bila Syafi’i
tidak mampu menyerahkan keseluruhan harga, maka gugrlah Syuf’ah.
Mazhab Maliki dan Mazhab
Hanbali berpendapat bahwa apabila harga ditangguhkan semuanya atau sebagiannya,
maka Syafi’i boleh menangguhkannya atau membayarnya secara kredit sesuai dengan
ketentuan yang disepakati ketika akad, dengan syarat bahwa Syafi’i adalah orang
kaya atau ada penanggungnya. Jika tidak demikian, ia wajib membayar ketika itu
juga (kontan) untuk menjaga kemaslahatan pembeli.
Al-Syafi’i dan penganut
Mazhab Hanbali berpendapat bahwa Syafi’i boleh memilih, jika pembayaran
disegerakan, maka syuf’ah pun disegerakan, jika tidak, maka terlambat sampai
waktu tertentu..
d.
Syafi’i
mengambil keseluruhan barang.
Maksudnya, jika Syafi’i meminta untuk mengambil sebagian, maka semua
haknya gugur. Apabila syuf’ah terjadi antara dua syafi’i atau lebih, sebagian
Syafi’i melepaskannya, maka Syafi’i yang lain harus menerima semuanya. Hal ini
dimaksudkan agar benda Syuf’ah tidak terpilah atas pembeli.
2.
Syafi’ yaitu orang yang akan mengambil atau menerima
syuf’ah syarat-syaratnya ialah sebagai berikut:
a.
Orang
yang membeli secara Syuf’ah adalah partner dalam benda atau barang tersebut.
Perpartneran mereka lebih dahulu terjadi sebelum penjualan, tidak adanya
perbedaan batasan diantara keduanya sehingga benda itu menjadi milik mereka
berdiri secara bersamaan.
Dalam hadis riwayat Khomsah dari Jabir r.a., dinyatakan:
“Rasulullah saw. Menetapkan syuf’ah untuk segala jenis yang tidak
dipecah dan apabila terjadi batasan hak (had), kemudian perbedaan hak sudah
jelas, maka tidak ada syuf’ah.”
Ali, Utsman, Umar, Syaid
al-Musayyab, Sulaiman bin Yasar, Umar bin Abdul Aziz, Rabi’ah Malik, Syafi’i,
Audza’i, Ishaq, Ubaidillah bin Hasan, dan Imamiyah berpendapat bahwa Syuf’ah
tidak berlaku terhadap batang yang apabila dibagi atau dipecah akan hilang
manfaatnya, seperti kamar mandi, dan wc.
Imam Malik meriwayatkan
dari Syihab bin Abi Salamah bin Abdurrahman dan Said al-Musayyad:
“Rasulullah Saw. Menetapkan Syuf’ah untuk benda yang belum dibagi
antara yang berserikat, jika terjadi pembahasan antara mereka, maka tidak ada
Syuf’ah.”
Tetangga menurut
kebanyakan ulama tidak mendapatkan syuf’ah. Berbeda dengan pendapat Mazhab
Hanafi, menurutnya syuf’ah itu bertingkat-tingkat, pertama adalah partner yang
belum dibagi, kemudian partner yang sudah dibagi (Syarik Musaqim), dan terakhir
tetangga yang berhimpitan.
Sebagian ulama ada yang
mengambil jalan tengah, pendapat ini menetapkan Syuf’ah untuk benda-benda
berssama seperti jalan, air dan sejenisnya. Pendapat ini menafikkan dalam
keadaan terbedakannnya tiap-tiap milik dengan jalan tidak adanya kebersamaan
dalam barang yang dimiliki, untuk itu mereka beralasan pada sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh Asbab al Sunnah dari Jabir r.a. bahwa Nabi SAW, bersabda:
“Tetangga adalah yang paling berhak mendapatkan Syuf’ah milik
tetangganya, ia boleh menunggu tetangganya jika ia tidak ada di tempat, apabila
memang jalannya (dimana milik mereka berada) satu.”
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam juga bersabda,
جَارُ الدَّارِ أَحَقُّ بِالدَّارِ
“Tetangga rumah lebih
berhak dengan rumahnya,” (HR. Tirmidzi dan Abu Dawud. Hadits ini
dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Al Irwaa’ no. 1539).
b.
Syarat
yang kedua adalah bahwa Syafi’ meminta dengan segera.
Maksudnya, Syafi’i jika telah mengetahui penjualan, ia wajib
meminta dengan segera jika hal itu memungkinkan.
3.
Masyfu’
min hu, yaitu orang tempat mengambil syuf’ah
Di isyaratkan pada masyfu’ min hu bahwa ia memiliki benda terlebih
dahulu secara syarikat, contohnya ialah Umar dan Rahmat memiliki sebuah rumah
secara syarikat. Umar menjual miliknya kepada Zakaria, waktu khiarnya hingga
tinggal 20 Januari 1992. Kemudian Rahmat menjual pula haknya kepada Fatimah.
Maka Zakaria dapat melakukan tindakan syuf’ah pada Fatimah.[8]
Rukun dan syarat Syuf’ah adalah sebagai berikut:
a.
Masyfu’, benda-benda yang dijadikan barang syuf’ah.
Berikut ini syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh benda-benda yang
dijadikan syuf’ah. Barang yang disyuf’ahkan berbentuk benda tetap (‘uqar),
seperti tanah, rumah, dan hal-hal yang berkaitan dengan keduanya seperti
tanaman, bangunan, pintu, pagar, atap rumah, dan semuanya yang termasuk dalam
penjualan saat dilepas.
b.
Syafi’ yaitu orang yang mengambil dan menerima syuf’ah.
Syarat-syaratnya adalah sebagai berikut; 1) Orang yang membeli syuf’ah
adalah partner dalam benda atau barang tersebut. Perpartneran mereka lebih
dahulu terjalin sebelum penjualan, tidak hanya perbedaan batasan di antara
keduanya sehingga benda itu menjadimilik mereka berdua secara bersamaan. 2)
Syafi’ meminta dengan segera, maksudnya, syafi jika telah mengetahui penjualan,
ia wajib meminta dengan segera jika hal itu memungkinkan. Jika ia telah
mengetahuinya, kemudian memperlambat permintaan tanpa adanya uzur, maka haknya
gugur. 3) Syafi’ mengambil sebagian, maka semua haknya gugur. Apabila syuf’ah
terjadi antara dua syafi’ atau lebih, sebagian syafi’ melepaskannya, maka
syafi’ yang lain harus menerima semuanya. Hal ini dimaksudkan agar benda
syuf’ah tidak terpilah-pilah atas pembeli.
c.
Masyfu’
min hu, yaitu orang tempat mengambil
syuf’ah.
Disyaratkan pada syuf’ah min hu bahwa ia memiliki benda terlebih
dahulu secara syarikat.[9]
D.
Pewarisan Syuf’ah
Malik, penduduk
Hijaz dan Syafi’i berpendapat bahwa syuf’ah dapat diwariskan dan tidak batal
karena adanya kematian.
Jika seseorang
berhak memperoleh syuf’ah, kemudian meninggal dunia dan dia dalam keadaan tidak
atau belum mengetahui atau ia tahu tetapi meninggal sebelum dapat melakukan
pengambilan, maka haknya beralih kepada para
ahli waris. Alasannya ialah bahwa syuf’ah diqiyasskan kepada irts.
Menurut Imam
Ahmad syuf’ah tidak dapat diwariskan, kecuali jika mayat menuntutnya. Sedangkan
menurut Mazhab Hanafi, syuf’ah tidak dapat diwariskan dan tidak dapat dijual
sekalipun mayat menuntut syuf’ah, kecuali jika hakim telah memutuskannya dan
kemudian ia meninggal dunia.
E.
Tindakan Pembeli
Tindakan
pembeli terhadap harta sebelum Syafi’i menerima syuf’ah dinyatakan sah karena
ia bertindak terhadap miliknya. Jika suatu ketika pembeli menjualnya lagi
kepada orang lain, Syafi’i berhak melakukan syuf’ah terhadap salah satu dari
dua penjualan.
Jika pembeli
harta menghibahkannya, mewakafkannya, menyedekahkannya atau yang sejenisnya,
Syafi’i kehilangan hak syuf’ahnya sebab pemilikan barang tersebut tanpa ganti.
Tindakan
pembeli yang telah didahului oleh tindakan syuf’ah oleh Syafi’i adalah bathil,
sebab Syafi’i telah melaksanakan haknya dan
ada kemungkinan pembeli bermaksud mempermainkan hak Syafi’i.
Apabila seorang
berdamai dalam masalah syuf’ah atau menjualnya dari pembeli, menurut al-Syafi’i
perbuatan tersebut dinyatakan bathal dan menggugurkan hak syuf’ahnya serta
berkewajiban mengembalikan benda-benda yang telah dia ambil. Menurut Imam
Hanafi, Maliki dan Hanbali perbuatan itu sah dan dia berhak memiliki apa yang
telah dia usahakan untuk dia miliki dari pembeli.[10]
F.
Hikmah disyariatkannya Syuf’ah
Islam
mensyariatkan syuf’ah untuk mengantisipasi terjadinya kerugian dan bahaya.
Pembelian kembali bagian seorang partner yang telah dibeli oleh pembeli dengan
harga tertentu akan menguntungkan baginya (partner yang menjual bagiannya). Di
samping itu, dapat menolak kerugian atau efek negatif dengan tidak merugikan
partner yang menjual bagiannya dan pembelinya. Keduanya mendapat haknya secara
sempurna.
Ibnu al-Qayyim
menyatakan bahwa Syuf’ah adalah termasuk syariat yang baik, adil, dan
menjunjung tinggi kemaslahatan umat. Dari sini dapat diketahui bahwa rekayasa
untuk mengugurkan kepentingan umat sangat berlawanan dengan sesuatu yang
menjadi tujuan syari’ (Allah SWT).[11]
Islam mensyari’atkan Syuf’ah untuk mencegah kemadharatan dan menghindari
permusuhan. Karena hak kepemilikan Syafi’ dari pembelian orang lain (pihak
lain) akan dapat mencegah kemungkinan adanya kemudharatan dari orang lainyang
baru saja ikut serta. Imam Syafi’i memilih pendapat bahwa yang di maksud dengan
madharat (bahaya) adalah kerugian biaya pembagian, risiko adanya pihak
baruyang ikut serta dan lainnya. Ada juga ulama yang berpendapat bahwa maksud
kemadharatan adalah risiko persekutuan.[12]
Hikmah disyari’atkan syuf’ah adalah untuk menghindari bahaya dan
pertengkaran yang mungkin sekali timbul. Hal itu, karena hak milik syafii’
terhadap harta yang dijual yang hendak dibeli oleh orang lain menolak adanya
madharat yang mungkin timbul dari orang lain tersebut. Imam Syafi’i lebih memilih
bahwa bahaya tersebut adalah bahaya biaya pembagian, peralatan baru dsb. Ada
yang mengatakan bahwa bahaya tersebut adalah bahaya tidak baiknya persekutuan.
Ibnul Qayyim berkata, “Di antara keindahan syari’at, keadilannya dan
berusaha menegakkan maslahat hamba adalah mengadakan syuf’ah. Karena hikmah
syari’ menghendaki dihilangkan madharrat dari kaum mukallaf semampu mungkin.
Oleh karena serikat (bersekutu) itu biasanya sumber madharrat, maka
dihilangkanlah madharrat itu dengan dibagikan atau dengan syuf’ah. Jika ia
ingin menjual bagiannya dan mengambil ganti, maka kawan serikatnya itulah yang
lebih berhak daripada orang lain, dapat menghilangkan madharat dari serikat itu
dan tidak merugikan penjual, karena akan menghubungkan kepada haknya berupa
bayaran. Oleh karena itu, syuf’ah termasuk di antara keadilan yang sangat besar
dan hukum terbaik yang sejalan dengan akal, fitrah dan maslahat hamba.”
G.
Syuf’ah bagi
Dzimmi
Menurut mayoritas ahli Fiqih, karena syuf’ah berlaku untuk orang muslim,
maka ia juga berlaku untuk orang kafir dzimmi. Tetapi Ahmad, Hasan dan Syafi’i
berpendapat bahwa syuf’ah tidak berlaku untuk orang kafir dzimmi, berdasarkan
dalil hadits yang diriwayatkan oleh Daruquthni dari Anas, bahwa Nabi saw
bersabda,
لاَ شُفْعَةَ لِنَصْرَانِيْ.
“ Tidak berlaku syuf’h bagi orang nasrani.”
H.
Objek syuf’ah
Objek syuf’ah
adalah tanah yang belum dibagi-bagi, diikuti pula dengan apa yang ada di
dalamnya berupa pepohonan dan bangunan. Jika tanahnya sudah dibagi-bagi, tetapi
masih ada perlengkapan yang diserikati antara beberapa tetangga, seperti jalan,
air, dan sebagainya, maka menurut pendapat yang shahih dari dua pendapat ulama
bahwa syuf’ah tetap berlaku. Hal ini berdasarkan mafhum sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ketika batasannya telah ditentukan dan jalan
telah diatur, maka tidak ada lagi syuf’ah.” Sehingga jika jalan belum diatur,
maka syuf’ah masih berlaku.
Imam Bukhari
meriwayatkan dari Jabir bin Abdillah
قَضَى النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالشُّفْعَةِ فِي كُلِّ مَالٍ لَمْ يُقْسَمْ فَإِذَا
وَقَعَتْ الْحُدُودُ وَصُرِّفَتْ الطُّرُقُ فَلَا شُفْعَةَ
“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan syuf’ah pada
harta yang belum dibagi-bagi, ketika batasannya telah ditentukan dan jalan
telah diatur, maka tidak ada lagi syuf’ah.
Syaikh
Taqiyyuddin berkata, “Syuf’ah tetangga tetap berlaku ketika terjadi persekutuan
dalam sebuah hak di antara hak-hak kepemilikan, seperti jalan, air, dan
sebagainya. Hal ini disebutkan oleh Ahmad, dan dipilih oleh Ibnu ‘Aqil, Abu Muhammad
dan lain-lain. Al Haritsi berkata, “Inilah yang harus dipegang dan di dalamnya
terdapat sikap menggabung hadits-hadits yang ada. Hal itu, karena tetangga tidaklah menghendaki
adanya syuf’ah kecuali jika jalannya satu dan semisalnya. Di samping itu,
syariat syuf’ah adalah untuk menolak madharat, dan madharat itu biasanya
terjadi ketika ada percampuran pada sesuatu yang dimiliki, atau dalam hal jalan
dan semisalnya.”
Meminta izin kepada kawan sekutu
ketika hendak menjual
Bagi kawan
sekutu wajib meminta izin kepada kawan sekutunya yang lain sebelum dilakukan
penjualan. Jika ternyata langsung dijual tanpa izinnya, maka dia lebih berhak
daripada yang lain. Tetapi jika kawan sekutunya mengizinkan dijual (kepada yang
lain) dan berkata, “Saya tidak butuh terhadapnya,” maka setelahnya kawan sekutu
tidak dapat menuntut lagi. Inilah ketetapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Imam Muslim
meriwayatkan dari Jabir ia berkata:
قَضَى رَسُولُ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- بِالشُّفْعَةِ فِى كُلِّ شِرْكَةٍ لَمْ تُقْسَمْ رَبْعَةٍ أَوْ
حَائِطٍ. لاَ يَحِلُّ لَهُ أَنْ يَبِيعَ حَتَّى يُؤْذِنَ شَرِيكَهُ فَإِنْ شَاءَ أَخَذَ
وَإِنْ شَاءَ تَرَكَ فَإِذَا بَاعَ وَلَمْ يُؤْذِنْهُ فَهْوَ أَحَقُّ بِهِ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan syuf’ah dalam semua
persekutuan yang belum dibagi; baik rumah maupun kebun, tidak halal bagi
seseorang menjualnya sampai memberitahukan kawan sekutunya. Jika ia mau, ia
berhak mengambil dan jika mau, ia berhak ditinggalkan. Apabila dijual, namun
belum memberitahukannya, maka ia lebih berhak terhadapnya.”
Dari Jabir juga
ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَانَ لَهُ
شَرِيكٌ فِى رَبْعَةٍ أَوْ نَخْلٍ فَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَبِيعَ حَتَّى يُؤْذِنَ شَرِيكَهُ
فَإِنْ رَضِىَ أَخَذَ وَإِنْ كَرِهَ تَرَكَ
“Barang siapa yang memiliki bagian pada sebuah rumah atau pohon
kurma, maka ia tidak berhak menjualnya sampai memberitahukan kawan sekutunya.
Jika ia suka, ia berhak mengambilnya dan jika ia tidak mau, maka ia tinggalkan.
(HR. Muslim)
Hadits ini menunjukkan
tidak halalnya melakukan penjualan sebelum ia tawarkan kepada kawan sekutunya.
Ibnu Hazm
berkata, “Tidak halal bagi seorang yang memiliki hal itu langsung menjualnya
sampai ia tawarkan kepada sekutunya atau para sekutunya. Jika sekutunya mau mengambilnya
dengan harga seperti orang lain, maka sekutu lebih berhak. Jika ternyata ia
tidak mau (membelinya), maka gugur haknya dan ia tidak berhak lagi setelahnya
apabila telah dijual kepada pembelinya. Tetapi, jika ia belum menawarkan
(kepada kawan sekutu) seperti yang telah kami terangkan, ia pun langsung
menjual kepada selain kawan sekutu, maka sekutunya berhak khiyar antara
meneruskan jual beli itu atau membatalkannya dan mengambil bagian itu untuk
dirinya dengan harganya.”
Ibnul Qayyim
berkata, “Haram bagi sekutu menjual bagiannya sampai diizinkan kawan sekutunya.
Jika ternyata dijual tanpa izinnya, maka ia lebih berhak, namun jika
diizinkannya untuk dijual dan kawan sekutunya itu mengatakan, “Saya tidak perlu
lagi pada bagian ini,” maka sekutu ini tidak bisa lagi menuntut setelah dijual.
Ini adalah konsekwensi hukum syara’ dan tidak ada penentangnya dari sisi (apa
pun), dan inilah yang benar sekali.”
Apa yang
dikatakan Ibnul Qayyim di atas, yakni bahwa syuf’ah menjadi gugur ketika
pemilik syuf’ah menggugurkannya sebelum dilakukan jual beli merupakan salah
satu di antara dua pendapat dalam masalah ini, adapun menurut yang lain, dimana
ini adalah pendapat jumhur, bahwa syuf’ah tidaklah gugur dengannya, dan izin
menjualnya tidaklah membatalkannya, wallahu a’lam.
Sebagian ulama,
di antaranya adalah ulama madzhab Syafi’i berpendapat bahwa perintah tersebut
hanyalah sebagai anjuran. Imam Nawawi berkata, “Hal itu menurut kawan-kawan
kami menunjukkan sunat untuk memberitahukannya dan makruhnya dijual sebelum diberitahukan,
namun tidak haram.”
I.
Filsafah Al-Syuf’ah
Kita semua tahu
bahwa segala perintah atau aturan baik itu bersifat samawi (berasal dari Tuhan)
maupun ardhi (buatan manusia) menyatakan adanya Syuf’ah. Syariat Nabi Muhammad
yang terang benderang memperbolehkan dan menetapkan hal ini karena adanya
beberapa faedah.
Penjelasannya
bahwa ada salah satu dari dua orang yang bersekutu dan ingin menjual bagian
dari rumah atau tanahnya. Kemudian datanglah seorang pembeli yang barangkali
adalah musuh bagi sekutu yang lain dan membeli bagian ini kemudian bersandingan
(bertetangga) dengannya. Dan, kalian tahu bahwa kebanyakan tetangga apabila
tidak memenuhi kriteria yang ditentukan akan mengakibatkan kebencian dalam jiwa
dan rasa dengki dalam hati. Terlebih jika ada rasa iri dari tetangga. Maka,
secara tidak langsung seseorang telah menyakiti teman sekutunya yang lain
dengan adanya tetangga ini.[13]
Barangkali
orang yang membeli itu berakhlak jelek dan jiwanya buruk yang tidak mengetahui
hak tetangga, maka hal itu akan menyakiti tetangganya. Rasulullah telah
bersabda :
مَازَالَ جِبْرِيْلُ يُوَصِّنِيْ بِالْجَارِ
حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ
“Malaikat Jibril selalu berpesan kepadaku untuk senantiasa berbuat
baik kepada tetangga, sehingga aku menyangka bahwa tetangga itu akan menjadi
ahli waris”.
Beliau juga
bersabda,
مَنْ كَانَ يُؤْمِنَ بِااللهِ وَاْليَوْمِ
الْاَخِرِ فَالْيُكْرِمْ جَارَهُ
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hedaklah
ia memuliakan tetangganya.”
Barangkali
tetangganya membutuhkan bagian ini, misalnya untuk dijadikannya sebagai rumah,
atau barang kali tokonya sempit dan ingin memperluasnya, atau tanah itu
bersebelahan dengan tanah pertaniannya dan ia sangat membutuhkannya.
Demikianlah di antara hal-hal yang memberi faedah kepada tetangga.
Oleh karena
itu, Al-Syari' yang bijaksana menjadikan dan memperbolehkan Syuf’ah. Seorang
tetangga atau sekutu memiliki hak dalam prioritas atau hak lebih dahulu
daripada yang lainnya kecuali jika haknya tersebut gugur dengan adanya halangan
untuk membeli. Adapun mengenai tipu daya yang rusak atau batil yang dijadikan
pembeli untuk menyakiti tetangga, maka Al-Syari' mengecamnya dan tidak ridha
sama sekali. Namun, apabila tipu daya itu berisi tentang penghilangan bahaya,
maka diperbolehkan secara syara.[14]
Tindakan
Pembeli
Tindakan
pembeli terhadap harta sebagia Syafi’i menerima syuf’ah dinyatakan sah karena
ia bertindak terhdap miliknya. Jika suatu ketika pembeli menjualnya lagi kepada
orang lain, syafi’i berhak melakukan syuf’ah terhadap salah satu dari dua
penjualan. Jika pembeli harta mengibahkannya, mewakafkannya, menyedekahkannya
atau yang sejenisnya, Syafi’i kehilangan hak syuf’ahnyasebab pemilikan barang
tersebut tanpa ganti.
Tindakan
pembeli yang telah didahului oleh tindakan syuf’ah oleh Syafi’i adalah bathil
sebab Syafi’i telah melaksanakan haknya dan ada kemungkinanpembeli bermaksud
mempermainkan hak Syafi’i. Apabila seseoran berdamai dalam masalah syuf;ah
aatau menjalnya dari pembeli, menurut al-syafi’i perbuatan tersebut dinyatakan
bathal dan menggugurkan hak syuf’ahnya serta berkewajiban mengembalikan
benda-benda yang telah diambil. Menurt Imam Hanafi, Maliki dan Hanbali
perbuatan itu sah dan dia berhak memiliki apa yang telah dia usahakan untuk dia
miliki dari pembeli.[15]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Syuf’ah adalah
pemilikan barang syuf’ah oleh Syafi’ sebagai pengganti dari pembeli dengan
membayar harga barang kepada pemiliknya, sesuai dengan nilai yang biasa dibayar
oleh pembeli lain.
Jika didalam Syuf’ah berlaku untuk perkongsian, maka sesungguhnya dia
berlaku untuk barang yang dapat dibagi. Partner dipaksakan untuk membagi dengan
syarat ia dapat memanfaatkan bagiannya itu, seperti ketika barang tersebut
belum dibagi. Oleh karena itu, Syuf’ah tidak berlaku untuk barang yang apabila
dibagi/dipecah manfaatnya menjadi tidak ada.
Penjelasannya bahwa ada salah satu dari dua orang
yang bersekutu dan ingin menjual bagian dari rumah atau tanahnya. Kemudian
datanglah seorang pembeli yang barangkali adalah musuh bagi sekutu yang lain
dan membeli bagian ini kemudian bersandingan (bertetangga) dengannya. Dan,
kalian tahu bahwa kebanyakan tetangga apabila tidak memenuhi kriteria yang
ditentukan akan mengakibatkan kebencian dalam jiwa dan rasa dengki dalam hati.
Terlebih jika ada rasa iri dari tetangga. Maka, secara tidak langsung seseorang
telah menyakiti teman sekutunya yang lain dengan adanya tetangga ini.
DAFTAR PUSTAKA
Hilmi, Karim, Fiqih Muamalah,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Mardani,Ayat-ayat dan Hadis
ekonomi Syariah,Rajawali Pers:Jakarta,2012.
Mardani,Fiqh Ekonomi Syariah:Fiqh
Muamalah,Kencana:Jakarta,2012.
Prof. Dr. Hj. Enizar, M.A , Syarah
hadis ekonomi,diambil dari
Rasjid,Fiqh Islam,Sinar Baru
Algessindo:Bandung,2013..
Sabiq, Sayyid, fiqh al-sunnah,
(Dar al-fiqr: Kairo, 1997), hl 45.
Suhendi,Hendi,Fiqh Muamalah,
Rajawali Pers:Jakarta,2010.
Tamrin, Dahlan, Filsafat Hukum
Islam, UIN Press. Malang: 2012
http://salehfaisal.blogspot.co.id/2014/06/syufah.html,
diakses 15 Oktober 2016
http://kaharazisp.blogspot.co.id/2013/05/normal-0-false-false-false-in-x-none-ar.html,
diakses pada tanggal 15 Oktober 2016 pukul 22:21 WIB.
http://airimuchtar.blogspot.co.id/2014/07/iqalah-iqalah-secara-bahasa-berarti.html.
[1]
Hendi Suhendi,Fiqh Muamalah, Rajawali Pers:Jakarta,2010.h.161.
[2]Karim
Hilmi, Fiqih Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
[3]Mardani,Ayat-ayat
dan Hadis ekonomi Syariah,Rajawali Pers:Jakarta,2012.h.146-147.
[4]
Mardani,Fiqh Ekonomi Syariah:Fiqh Muamalah,Kencana:Jakarta,2012.h.316.
[5]Rasjid,Fiqh
Islam,Sinar Baru Algessindo:Bandung,2013.h.336.
[6]Sayyid
Sabiq, fiqh al-sunnah, (Dar al-fiqr:
Kairo, 1997), hl 45.
[7]
Prof. Dr. Hj. Enizar, M.A , Syarah hadis ekonomi,diambil dari http://salehfaisal.blogspot.co.id/2014/06/syufah.html,
diakses 15 Oktober 2016
[8]Hendi
Suhendi,Fiqh Muamalah, Rajawali Pers:Jakarta,2010.h.162-167.
[9]
Mardani,Fiqh Ekonomi Syariah:Fiqh Muamalah,Kencana:Jakarta,2012.h.317.
[10]
Ibid,h.168.
[11]
Mardani,Fiqh Ekonomi Syariah:Fiqh Muamalah,Kencana:Jakarta,2012.h.318.
[12]
http://kaharazisp.blogspot.co.id/2013/05/normal-0-false-false-false-in-x-none-ar.html,
diakses pada tanggal 15 Oktober 2016 pukul 22:21 WIB.
[13]
Dahlan Tamrin, Filsafat Hukum
Islam, UIN Press. Malang: 2012 ,hlm 27.
[15]
http://airimuchtar.blogspot.co.id/2014/07/iqalah-iqalah-secara-bahasa-berarti.html.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar