DEFINISI DAN HUKUM IJARAH
Makalah ini guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Fiqh Mu’amalah
Dosen Pengampu: Imam Mustofa, S.H.I.,M.SI.
![]() |
Disusun oleh:
Evi Setianingsih 1502100050
Kelas: B
PROGRAM STUDI S1 PERBANKAN SYARIAH
JURUSAN SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) JURAI SIWO METRO
2016
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berbagai pernyataan tentang ijarah yang sebenarnya
intinya memberikan pemahaman bahwa ijarah adalah akad untuk memberikan
pengganti atau kompensasi atas penggunaan manfaat suatu barang. Sementara itu,
Komplikasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) Pasal 20 mendefinisikan ijarah, “ijarah
adalah sewa barang dalam jangka waktu tertentu dengan pembayaran”.
Menurutnya,
benda yang mengeluarkan suatu manfaat sedikit demi sedikit, asalnya tetap ada,
misalnya pohon yang mengeluarkan buah, pohonnya tetap ada dan dihukumi manfaat,
sebagaimana dibolehkan dalam wakaf untuk mengambil manfaat dari sesuatu atau
sama juga dengan barang pinjaman yang diambil manfaatnya. Transaksi ijarah
dilandasi adanya perpindahan manfaat (hak guna), bukan perpindahan kepemilikan
(hak milik).
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Definisi Ijarah
Ijarah
secara etimologi adalah masdar dari kata ajara-ya’jiru,
yaitu upah yang diberikan sebagai kompensasi sebuah pekerjaan. Al-ajru berarti upah atau imbalan untuk
sebuah pekerjaan. Al-ajru makna
dasarnya adalah pengganti, baik yang bersifat materi maupun immateri.[1]
Al
Syarbini mendefinisikan ijarah sebagai berikut:
“Akad
untuk menukar manfaat suatu barang dengan sesuatu, di mana manfaat tersebut
merupakan manfaat yang halal dan diperbolehkan oleh syara”
Sedangkan
Ulama Malikiyah dan Hanbaliyah mendefinisikan ijarah:
“Pemiliki
manfaat suatu barang yang mubah dengan penggantian”
Ensiklopedia
Fiqh mendefinisikan al-Ijarah sebagai berikut:
“Akad
penukaran terhadap manfaat suatu barang dengan harga atau barang tertentu”
Berbagai pernyataan diatas intinya memberikan
pemahaman bahwa ijarah adalah
akad untuk memberikan pengganti atau kompensasi atas penggunaan manfaat suatu
barang. Sementara itu, Komplikasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) Pasal 20
mendefinisikan ijarah, “ijarah adalah sewa barang dalam jangka
waktu tertentu dengan pembayaran”.[2]
Menurut
etimologi, ijarah adalah بیع المنفعة (menjual manfaat). Menurut terminologi
syara’. ijarah diterjemahkan sebagai jual-beli jasa (upah-mengupah): mengambil
manfaat tenaga manusia dan sewa-menyewa: mengambil manfaat dari barang. Dalam
arti luas, ijarah bermakna suatu akad yang berisi penukaran manfaat sesuatu
dengan jalan memberikan imbalan dalam jumlah tertentu. Menurut bahasa, ijarah
berarti upah atau ganti atau imbalan. Sedangkan lafaz ijarah mempunyai pengertian
umum yang meliputi upah atas pemanfaatan sesuatu benda atau imbalan sesuatu
kegiatan atau upah karena melakukan sesuatu aktivitas.
Ada
beberapa definisi ijarah yang dikemukakan oleh ulama fikih. Ulama mazhab Hanafi
mendefinisikan dengan transaksi terhadap suatu manfaat dengan imbalan. Ulama
mazhab Syafi’i mendefinisikan dengan transaksi terhadap suatu manfaat yang
dituju, tertentu, bersifat mubah dan bisa dimanfaatkan dengan imbalan tertentu,
Ulama mazhab Maliki dan Hanbali mendefinisikan dengan pemilikan manfaat sesuatu
yang dibolehkan dalam waktu tertentu dengan suatu imbalan.
Jumhur
ulama fiqih berpendapat bahwa ijarah adalah menjual manfaat dan yang boleh
disewakan adalah manfaatnya bukan bendanya. Oleh karena itu, mereka melarang
menyewakan pohon untuk diambil buahnya, domba untuk diambil susunya, sumur
untuk diambil airnya, dan lain-lain, sebab semua itu bukan manfaatnya, tetapi
bendanya. Menanggapi pendapat di atas, Wahbah Al-Juhaili mengutip pendapat Ibnu
Qayyim dalam I’lam Al-Muwaqi’in bahwa manfaat sebagai asal ijarah sebagaimana
ditetapkan ulama fiqih adalah asal fasid (rusak) sebab tidak ada landasannya,
baik dari Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ maupun qias yang shahih.
Menurutnya,
benda yang mengeluarkan suatu manfaat sedikit demi sedikit, asalnya tetap ada,
misalnya pohon yang mengeluarkan buah, pohonnya tetap ada dan dihukumi manfaat,
sebagaimana dibolehkan dalam wakaf untuk mengambil manfaat dari sesuatu atau
sama juga dengan barang pinjaman yang diambil manfaatnya.
Transaksi
ijarah dilandasi adanya perpindahan manfaat (hak guna), bukan perpindahan
kepemilikan (hak milik). Pada ijarah objek transaksinya adalah barang maupun
jasa.Prinsip ini secara garis besar terbagi kepada tiga jenis:
1.
Ijarah, sewa murni. Dalam teknis perbankan, bank dapat membeli
dahulu equipment yang dibutuhkan nasabah kemudian menyewakan dalam waktu dan
hanya yang telah disepakati kepada nasabah.
2.
Bai al takjiri atau ijarah al muntahiya bit tamlik
merupakan penggabungan sewa dan beli, di mana si penyewa mempunyai hak untuk
memiliki barang pada akhir masa sewa (finansial lease).
3.
Musyarakah Mutanaqisah/Descreasing Participation. Jenis
ini adalah kombinasi antara Musyarakah dengan Ijarah (perkongsian dengan sewa).[3]
Al-Ijarah
adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, dengan pembayaran upah
sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri. Menurut
Hasbi Ash Shiddieqy bahwa ijarah adalah akad yang objeknya ialah penukaran
manfaat untuk masa tertentu artinya memiliki manfaat dengan iwadl, sama dengan
menjual manfaat..[4]
Menurut
Sayyid Sabiq dalam Fikih Sunnah, al ijarah berasal dari kata al ajru yang
berarti al ‘iwadhu (ganti/kompensasi). Ijarah dapat didefinisikan sebagai akad
pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa, dalam waktu tertentu
dengan pembayaran upah sewa (ujrah), tanpa diikuti dengan pemindahan
kepemilikan atas barang itu sendiri. Jadi ijarah dimaksudkan untuk mengambil
manfaat atas suatu barang atau jasa (mempekerjakan seseorang) dengan jalan
penggantian (membayar sewa atau upah sejumlah tertentu.
Dari
pengertian diatas, ijarah sejenis dengan akad jual beli namun yang dipindahkan
bukan hak kepemilikannya tapi hak guna atau manfaat, manfaat dari suatu aset atau
dari jasa/pekerjaan.
Aset
yang disewakan (objek ijarah) dapat
berupa rumah, mobil, peralatan dan lain sebagai. Karena yang ditransfer
adalah manfaat dari suatu aset, sehingga segala sesuatu yang dapat ditransfer
manfaatnya dapat menjadi objek ijarah. Dengan demikian, barang yang dapat habis
dikonsumsi tidak dapat menjadi objek ijarah, karena mengambil manfaatnya
berarti memilikinya. Bentuk lain dalam ijarah adalah manfaat dari suatu jasa
yang berasal dari hasil karya atau dari
pekerjaan seseorang.
Akad
ijarah mewajibkan pemberi sewa untuk menyediakan aset yang dapat digunakan atau
dapat diambil manfaat darinya selama periode akad dan memberikan hak kepada
pemberi sewa untuk menerima upah sewa (ujrah). Misalnya menyewakan LCD, maka
LCD tersebut harus dapat digunakan dan bukan LCD yang rusak yang tidak dapat
diambil manfaat darinya. Apabila setelah akad setelah akad terjadi kerusakan
sebelum digunakan dan sedikit pun waktu belum berlalu maka akad dapat dikatakan
tidak sah atau pemberi sewa harus mengganti dengan aset sejenis lainnya.[5]
Idris
Ahmad dalam bukunya yang berjudul Fiqh Syafe’i berpendapat bahwa ijarah berarti
upah-mengupah. Hal ini terlihat ketika beliau menerangkan rukun dan syarat
upah-mengupah, yaitu mu’jirdan musta’jir (yang memberikan upah dan yang
menerima upah), sedangkan Kamaluddin A. Marzuki sebagai penerjemah fiqh sunnah
karya Sayyid Sabiq menjelaskan makna ijarah dengan sewa-menyewa.
Dari dua
buku tersebut ada perbedaan terjemahan kata ijarah dari bahasa Arab ke dalam
bahasa Indonesia. Antara sewa dan upah juga ada perbedaan makna operasional,
sewa biasanya digunakan untuk benda. Sedangkan upah digunakan untuk tenaga.
Dalam bahasa Arab upah dan sewa disebut qarah.[6]
Ijarah adalah transaksi
sewa-menyewa atas suatu barang dan atau upah mengupah atas suatu jasa dalam
waktu tertentu melalui pembayaran sewa atau imbalan jasa. Menurut Muhammad
Syafi‟i Antonio ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang
maupun jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan
kepemilikan (ownership/milkiyah) atas barang itu sendiri.[7]
Ijârah berasal dari kata al-ajru yang
berarti sama dengan kata al-‘iwadhu yaitu ganti atau upah. Menurut Dr. Muhammad
Syafi‟i Antonio Ijârah adalah akad pemindahan hak guna atas barang dan jasa
dalam waktu tertentu melalui pembayaran upah sewa tanpa diikuti dengan
pemindahan kepemilikan (ownership/mlkiyah). Ada yang menerjemahkan Ijârah
sebagai jual beli jasa (upah mengupah), yakni mengambil manfaat tenaga manusia,
ada pula yang menerjemahkan sewa-menyewa, yakni mengambil manfaat dari barang.
Pembagian Ijarah :
Dilihat dari sisi obyeknya, akad ijarah dibagi menjadi dua, yaitu:
1)
Ijarah manfaat
(Al-Ijarah ala al-Manfa’ah), hal ini berhubungan dengan sewa aset atau
properti, yaitu memindahkan hak untuk memakai dari aset atau properti tertentu
kepada orang lain dengan imbalan biaya sewa.
Misalnya, sewa menyewa rumah, kendaraan, pakaian dll. Dalam hal ini
mu’jir mempunyai benda-benda tertentu dan musta’jir butuh benda tersebut dan
terjadi kesepakatan antara keduanya, di mana mu’jir mendapatkan imbalan
tertentu dari musta‟jir dan musta‟jir mendapatkan manfaat dari benda tersebut.
2)
Ijarah yang bersifat
pekerjaan (Al-Ijarah ala Al-‘Amal), hal ini berhubungan dengan sewa jasa, yaitu
memperkerjakan jasa seseorang dengan upah sebagai imbalan jasa yang disewa.
Pihak yang memperkerjakan disebut musta’jir, pihak pekerja disebut ajir, upah
yang dibayarkan diebut ujrah. Artinya, ijarah ini berusaha mempekerjakan
seseorang untuk melakukan sesuatu. Mu’jir adalah orang yang mempunyai keahlian,
tenaga, jasa dan lain-lain, kemudian musta’jir adalah pihak yang membutuhkan
keahlian, tenaga atau jasa tersebut dengan imbalan tertentu. Mu’jir mendapatkan
upah (ujrah) atas tenaga yang ia keluarkan untuk musta‟jir dan musta‟jir
mendapatkan tenaga atau jasa dari mu‟jir. Misalnya, yang mengikat bersifat
pribadi adalah menggaji seorang pembantu rumah tangga, sedangkan yang bersifat
serikat, yaitu sekelompok orang yang menjual jasanya untuk kepentingan orang
banyak. (Seperti; buruh bangunan, tukang jahit, buruh pabrik, dan tukang
sepatu).
Ijarah dalam Perpektif Ekonomi Islam
Ijarah adalah pemilikan jasa dari seorang
mu’ajir (orang yang dikontrak tenaganya) oleh musta’jir (orang yang mengontrak
tenaga), serta pemilikan harta dari pihak musta’jir oleh seorang mu’ajir. Atau
dengan kata lain ijarah merupakan transaksi terhadap jasa tertentu dengan
disertai kompensasi.
Syarat sah dan tidaknya transaksi ijarah
tersebut adalah adanya jasa yang dikontrak haruslah jasa yang mubah. Tidak
diperbolehkan mengontrak seorang mu‟ajir untuk memberikan jasa yang diharamkan.
Hal-hal yang terkait dengan kesepakatan kerja dapat diuraikan sebagai berikut:
1.
Ketentuan kerja
Ijarah adalah memanfaatkan jasa seseorang yang dikontrak untuk
dimanfaatkan tenaganya. Oleh karena itu, dalam kontrak kerjanya, harus
ditentukan bentuk kerjanya, waktu, upah, serta tenaganya.jenis pekerjaanya
harus dijelaskan, sehingga tidak kabur, karena transaksi ijarah yang masih
kabur hukumnya adalah fasid (rusak) dan waktunya harus ditentukan, misalnya
harian, bulanan, atau tahunan. Selain itu, upah kerjanya juga harus ditetapkan.
2.
Bentuk kerja
Tiap pekerjaan yang halal maka hukum mengontraknya juga halal. Di
dalam ijarah tersebut harus tertulis jenis atau bentuk pekerjaan yang harus
dilakukan seorang mu’ajir.
3.
Waktu kerja
Dalam transaksi ijarah harus disebutkan jangka waktu pekerjaan itu
yang dibatasi leh jangka waktu berlakunya perjanjian atau selesainya pekerjaan
tertentu. Selain itu, harus ada juga perjanjian waktu bekerja bagi mu‟ajir.
4.
Gaji kerja
Disyaratkan juga honor transaksi ijarah tersebut jelas, dengan
bukti dan ciri yang bisa menghilangkan ketidakjelasan. Kompensasi transaksi
ijarah boleh tunai, dan boleh juga tidak dengan syarat harus jelas. [8]
Al-Ijarah
berasal dari kata al-ajru yang arti menurut bahasanya ialah ganti dan
upah. Sedangkan menurut istilah, para
ulama berbeda-beda pendapat mendefinisikan ijarah, antara lain adalah sebagai
berikut:
Menurut
Hanafiyah bahwa ijarah ialah akad untuk membolehkan pemilikan manfaat yang
diketahui dan disengaja dari suatu zat yang disewa dengan imbalan.
Menurut
Malikiyah bahwa ijarah adalah nama bagi akad-akad untuk kemanfaatan yang
bersifat manusiawi dan untuk sebagian yang dapat dipindahkan.
Menurut
Syaikh Syihab Al-Din dan Syaikh Umairah bahwa yang dimaksud dengan ijarah ialah
akad atas manfaat yang diketahui dan disengaja untuk memberi dan membolehkan
dengan imbalan yang diketahui ketika itu”.
Menurut
Hasbi Ash-Shiddiqie bahwa ijarah ialah akad yang objeknya ialah penukaran
manfaat untuk masa tertentu, yaitu pemilikan manfaat dengan imbalan, sama
dengan menjual manfaat.
Menurut
Idris Ahmad bahwa upah artinya mengambil manfaat tenaga orang lain dengan jalan
memberi ganti menurut syarat-syarat tertentu.
Berdasarkan
definisi-definisi di atas, kiranya dapat dipahami bahwa ijarah adalah menukar
sesuatu dengan ada imbalannya, diterjemahkan dalam bahasa indonesia berarti
sewa-menyewa dan upah-mengupah, sewa-menyewa adalah “menjual manfaat”.[9]
Ijarah
adalah mengambil manfaat dengan jalan penggantian, artinya pemilik harta
memberikan hak untuk memanfaatkan objek yang ditransaksikan melalui penguasaan
sementara atau peminjaman objek dengan manfaat tertentu dengan membayar imbalan
kepada pemilik objek. Ijarah mirip dengan leasing, tetapi tidak sepenuhnya
sama.[10]
Menurut
etimologi, ijarah adalah (menjual manfaat). Demikian pula artinya menurut
terminologi syara’. Ada yang menerjemahkan, ijarah sebagai jual-beli jasa
(upah-mengupah), yakni mengambil manfaat tenaga manusia, ada pula yang
menerjemahkan sewa-menyewa.[11]
B. Hukum Ijarah
Ulama bersepakat bahwa ijarah diperbolehkan. Ulama
memperbolehkan ijarah berdasarkan legitimasi dari Al-Qur’an, Al-Sunnah dan
Ijma’. Legitimasi dari Al-qur’an antara lain :
1. Firman Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 233:
“Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang
lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut
yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha
Melihat apa yang kamu kerjakan”
2. Firman Allah Surat Al-Talaq ayat 6:
“..Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu
untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya..”
3. Firman Allah Surat Al-Qasas ayat 26-27:
“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Ya
bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya
orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang
yang kuat lagi dapat dipercaya. Berkatalah dia (Syua’ib):”sesungguhnya aku
bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas
dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh
tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak
memberati kamu. Dan kamu Insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang
baik.”
Sementara
legalitas dari Al-Sunnah, ada beberapa riwayat yangg menyatakan disyariatkannya
ijarah, antara lain:
1. Hadis riwayat dari Abdullah bin Umar:
“Dari Abdullah bin Umar berkata, Rasulullah Saw.
Bersabda: Berikanlah upah orang yang bekerja sebelum keringatnya mengering”
2. Hadis riwayat Abu Hurairah:
“Allah SWT berfirman: “Ada tiga kelompok yang Aku
menjadi musuh mereka pada Hari Kiamat nanti.Pertama, orang yang bersumpah atas
nama-Ku lalu ia mengkhianatinya. Kedua, orang yang menjual orang merdeka (bukan
budak belian), lalu ia memakan (mengambil) keuntungannya. Ketiga, orang yang
mempekerjakan seseorang, lalu pekerja itu memenuhi kewajibannya, sedangkan orang
itu tidak membayar upahnya.”
Selain
legalitas dari ayat dan hadis di atas, ijarah diperbolehkan berdasarkan
kesepakatan ulama atau ijma’. Ijarah juga dilaksanakan berdasarkan qiyas.
Ijarah diqiyaskan dengan jual beli, dimana keduanya sama-sama ada unsur
jual-beli, hanya saja dalam ijarah yang menjadi objek jual-beli adalah manfaat
barang.[12]
3. Al-Hadist
o “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah SAW. Bersabda,
“Berbekamlah kamu, kemudian berikanlah olehmu upahnya kepadatukang bekam itu.” (HR. Bukhari
dan Muslim).
o “Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah bersabda, “Berikanlah upah pekerja
sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah).
4. As-Sunnah
“Barang siapa mempekerjakan pekerja, berikanlah
upahnya”(HR. ‘Abd ar-Razzaq dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id al Khudri).
Dari Saad bin Abi Waqqash r.a. bahwa Rasulullah
bersabda: “Dahulu kami menyewa tanah dengan (jalan membayar dari) tanaman
yang tumbuh. Lalu Rasulullah melarang kami cara itu dan memerintahkan kami agar
membayarnya dengan uang emas atau perak.” (HR. Nasa’i).
5. Hadits riwayat Ibn Majjah dari Ibnu Umar, bahwa Nabi bersabda:
Artinya: ”Di riwayatkan dari Umar Ra. Bahwasanya
Nabi Muhammad SAW bersabda: Bayarlah
upah kepada orang yang kamu pakai tenaganya sebelum keringatnya kering”.(HR.
Ibnu Majjah). Kaitan dengan sukuk, kedua hadits di atas menunjukkan bahwa pemberian
imbalan yang diberikan pada waktu yang telah ditentukan memiliki kesesuaian
dengan ajaran Islam. Kesesuaian ini ditunjukkan dengan adanya ajaran yang
mengharuskan seorang penyewa memberikan upah sesuai dengan perjanjian waktu
yang telah disepakati dengan kesepakatan waktu pemberian imbalan.[13]
Landasan Ijma’nya ialah semua umat bersepakat, tidak
ada seorang ulama pun yang membantah kesepakatan ijma’ ini, sekalipun ada
beberapa orang di antara mereka yang bebeda pendapat, tetapi hal itu tidak
dianggap.[14]
Selain sumber ijarah (sewa) di atas membolehkan
ijarah (sewa) karena bermanfaat bagi manusia. Didasari kebutuhan masyarakat
akan jasa tertentu.
Dengan adanya kaidah fiqh ini, akan memperkuat keabsahan
akad ijarah ialah
اَلأَصْلُ فِي الْمُعَامَلاَتِ
اْلإِبَاحَةُ إِلا أَنْ يَدُل دَ لِيْلٌ عَلَى تَحْرِيْمِهَا.
Artinya: ”Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh
dilakukan
kecuali ada dalil yang mengharamkannya”.
Terkait dengan adanya Sukuk Ritel akad ijarah yang
menerapkan imbalan, bagi hasil, margin (keuntungan) dan capital gain (tambahan)
memiliki kesamaan dengan sistem upah di dalam ijarah (sewa).[15]
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Jumhur ulama fiqih berpendapat
bahwa ijarah adalah menjual manfaat dan yang boleh disewakan adalah manfaatnya
bukan bendanya. Ada beberapa definisi ijarah yang dikemukakan oleh ulama fikih.
Ulama mazhab Hanafi mendefinisikan dengan transaksi terhadap suatu manfaat
dengan imbalan. Ulama mazhab Syafi’i mendefinisikan dengan transaksi terhadap
suatu manfaat yang dituju, tertentu, bersifat mubah dan bisa dimanfaatkan
dengan imbalan tertentu, Ulama mazhab Maliki dan Hanbali mendefinisikan dengan
pemilikan manfaat sesuatu yang dibolehkan dalam waktu tertentu dengan suatu
imbalan. Berdasarkan definisi-definisi di atas, kiranya dapat dipahami bahwa
ijarah adalah menukar sesuatu dengan ada imbalannya, diterjemahkan dalam bahasa
indonesia berarti sewa-menyewa dan upah-mengupah, sewa-menyewa adalah “menjual
manfaat”. Ulama bersepakat bahwa ijarah
diperbolehkan. Ulama memperbolehkan ijarah berdasarkan legitimasi dari
Al-Qur’an, Al-Sunnah dan Ijma’.
DAFTAR
PUSTAKA
Djuwaini,Dimyauddin,Pengantar
Fiqh Muamalah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008, Hal. 158.
Karim, Helmi sebagaimana
dikutip oleh Mardhiyah Hayati,”Pembiayaan Ijarah Multijasa sebagai alternatif
sumber pembiayaan pendidikan”,dalam jurnal ASAS, Vol.6, No.2, Juli
2014,(78-86).
M. Ali Hasan,
Berbagi Macam Transaksi Dalam Islam, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003,
Hal. 230.
Mustofa, Imam
dikutip dari Muhammad bin Muhammad
al-Mukhtar Syanqiti, Syarh Zad al-Mustaqna’li al-Syanqiti, (Digital
Library, al-Maktabah al-Syamilah al-Isdar al-Sani,2005),IX/61 dalam Fiqh Mu’amalah Kontemporer,RajaGrafindo
Persada:Jakarta,2016.
Nur Amalia, Laili, Tinjauan
Ekonomi Islam Terhadap Penerapan Akad Ijarah Pada Bisnis Jasa Laundry” dalam
Economic: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, Vol.5, No. 2.(166-189).
Nurhayati,Sri,Akuntansi
Syariah Di Indonesia Edisi 4, Salemba Empat: Jakarta,2015.
Suhendi, Hendi,Fiqh
Muamalah,Rajawali Pers:Jakarta,2011.
Suhrawardi K. Lubis,
Hukum Ekonomi Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), 144.
Syarifuddin, Amir, Garis-Garis
Besar Fiqih..
Tengku Muhammad Hasbi
Ash Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah,Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, Ed.
Ketiga (Revisi), Cet. Pertama, 2009.
Yuliana,Indah,Komparasi
Kinerja Obligasi Syariah Ijarah dan Obligasi Konvensional,dalam El-Dinar,
Vol. 1, No 1, Januari 2013 (56-66),h.59.
[1] Imam Mustofa
dikutip dari Muhammad bin Muhammad
al-Mukhtar Syanqiti, Syarh Zad al-Mustaqna’li al-Syanqiti, (Digital
Library, al-Maktabah al-Syamilah al-Isdar al-Sani,2005),IX/61 dalam Fiqh Mu’amalah Kontemporer,RajaGrafindo
Persada:Jakarta,2016.h.101.
[2] Ibid.,h.102.
[3] Helmi Karim sebagaimana dikutip oleh Mardhiyah
Hayati,”Pembiayaan Ijarah Multijasa sebagai alternatif sumber pembiayaan
pendidikan”,dalam jurnal ASAS, Vol.6, No.2, Juli 2014,(78-86).h.79-80.
[4]
Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah,Semarang: PT.
Pustaka Rizki Putra, 2009, Ed. Ketiga (Revisi), Cet. Pertama, Hal. 83
[5]
Sri Nurhayati, Akuntansi Syariah Di Indonesia Edisi 4, Salemba Empat:
Jakarta,2015.h.79.
[7]Laili
Nur Amalia, Tinjauan Ekonomi Islam Terhadap Penerapan Akad Ijarah Pada
Bisnis Jasa Laundry” dalam Economic: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, Vol.5,
No. 2.(166-189)h.167.
[8]Ibid.,h.171-172.
[9]Hendi
Suhendi,Fiqh Muamalah,Rajawali Pers:Jakarta,2011,h.113-116.
[10]
Indah Yuliana,
Komparasi Kinerja Obligasi Syariah Ijarah dan Obligasi Konvensional,dalam
El-Dinar, Vol. 1, No 1, Januari 2013 (56-66),h.59.
[12]Imam Mustofa,
dikutip dari Fahd bin ‘Ali al-Hasan dalam al-Ijarah al-Muntahiyah bil Tamlik
fi al-Fiqh al-Islami,(Maktabah Misykah al-Islamiyyahh,2005),h.105
[13] M. Ali Hasan, Berbagi Macam Transaksi Dalam
Islam, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003, Hal. 230.
[14]
Hendi Suhendi,Fiqh Muamalah,Rajawali Pers:Jakarta,2011,h.116.
[15]
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2008, Hal. 158.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar