Minggu, 09 April 2017

Sistem Informasi Perbankan




PRINSIP OPERASIONAL BANK SYARI’AH DAN PIRANTI KEUANGAN DALAM BANK SYARI’AH
Makalah ini guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Sistem Informasi Perbankan Syari’ah
Dosen Pengampu: Firmansyah



 












Kelompok 2:
                   Evi Setianingsih         1502100050
                   Imes Kurnia Sari        1502100180
                   Aticha Mulyawati      1502100243



Kelas: B

PROGRAM STUDI S1 PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM (FEBI)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)  METRO
2017

BAB 1
Pembahasan


A.      Prinsip Operasional Bank Syariah
Bank syariah memiliki perbedaan yang mendasar apabila dibandingkan dengan bank non syariah (bank yang beroperasi dengan sistem bunga). Pada dasarnya, segala dunia usaha, termasuk perbankan Islam, bertujuan untuk menciptakan keuntungan (profit oriented). Namun, guna menghasilkan keuntungan tersebut terdapat beberapa hal yang harus dihindari oleh bank syariah karena bertentangan dengan syariat Islam. Salah satunya adalah bunga bank yang dalam istilah Islam disebut dengan riba. Hal ini didasarkan pada firman Allah swt yang menyebutkan bahwa “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.
Di samping riba, semua transaksi dalam perbankan syariah juga harus sesuai dengan syariat Islam yang antara lain menghindari transaksi yang mengandung unsur haram, perjudian/spekulasi (ميسر maisir), serta ketidakjelasan/manipulatif (غرر gharar). Apabila dibandingkan dengan bank nonsyariah, bank syariah memiliki perbedaan yang sangat mencolok. Perbedaan-perbedaan tersebut dapat dilihat dari berbagai hal di bawah ini:
1.      Bank syariah tidak menerapkan sistem bunga, tetapi sistem loss and profit sharing. Dengan prinsip ini, maka bank syariah tidak menetapkan tingkat bunga tertentu  bagi para penabung dan para debitur. Hal ini merupakan perbedaan utama antara bank syariah dan bank nonsyariah.  Sistem loss and profit sharing relatif lebih rumit apabila dibandingkan dengan sistem bunga. Dengan sistem ini, masyarakat nasabah seolah berada dalam ketidakpastian terhadap keuntungan yang akan diperoleh apabila mereka menabung di bank syariah. Demikian juga para debitur, tidak mendapatkan beban bunga dengan nilai nominal yang tetap apabila mereka mengambil kredit atau pinjaman pada bank syariah. 
2.      Bank syariah lebih menekankan pada pengembangan sektor riel. Karena diharamkannya bunga, maka bank syariah mencari strategi lain untuk menghasilkan keuntungan. Strategi ini dapat berupa pengembangan sektor riel untuk dibiayainya ataupun jual beli dalam pemenuhan kebutuhan konsumsi nasabah. Penekanan bank syariah pada investasi sektor riel ini berdampak sangat positif bagi pertumbuhan ekonomi masyarakat pada umumnya. Masyarakat nasabah tidak dididik untuk konsumtif, tetapi lebih dididik untuk mengembangkan usaha sektor riel yang dijalankannya.
3.      Bank syariah hanya bersedia membiayai investasi yang halal. Bank syariah lebih selektif dalam memiliki investasi yang akan dibiayainya. Faktor yang menjadi ukuran untuk dapat dibiayai oleh bank syariah bukan hanya faktor keuntungan, tetapi juga faktor kehalalan bidang usaha yang akan dibiayai. Bidang usaha yang haram, misalnya usaha perjudian dan prostitusi, tidak akan dapat dibiayai dari bank syariah. Sekalipun bidang usaha tersebut sangat menguntungkan, bank syariah tetap tidak mau membiayainya. Hal ini berbeda dengan bank nonsyariah yang tidak memedulikan mengenai halal-tidaknya bidang usaha yang akan dibiayainya.
4.      Bank syariah tidak hanya profit oriented,  tetapi juga berorientasi pada falah, sedangkan bank nonsyariah hanya berorientasi pada keuntungan. Falah memiliki cakupan yang sangat luas, yakni kebaikan hidup di dunia dan akhirat. Bahkan, kebaikan hidup tersebut bukan hanya untuk bank syariah bersangkutan, tetapi juga bagi nasabahnya. Orientasi pada falah ini pada akhirnya menuntun bank syariah untuk peduli terhadap usaha/bisnis yang dilaksanakan oleh nasabah sehingga antara keduanya dapat sama-sama mendapatkan manfaat atau keuntungan.
5.      Hubungan antara Bank syariah dan nasabah adalah atas dasar kemitraan (ta’awun). Dengan hubungan kemitraan ini maka tidak terdapat pihak yang merasa dieksploitasi oleh pihak lain. Pihak nasabah tidak tereksploitasi karena harus membayar bunga dalam jumlah tertentu seperti halnya hubungan antara nasabah dengan bank nonsyariah. Bahkan bank syariah ikut peduli terhadap kinerja dunia usaha/bisnis yang dilaksanakan oleh nasabah (apalagi jika akad yang disepakati adalah musyarakah dan mudharabah). Pihak bank syariah juga tidak merasa tereksploitasi oleh penabung karena harus membayar bunga seperti yang diperjanjikan (misal dalam deposito). Imbalan yang diberikan kepada penabung adalah sesuai dengan keuntungan yang dihasilkan pihak bank dalam mengelola dana nasabah tersebut. Antara nasabah dan bank syariah  berada dalam kondisi saling menolong dan bekerja sama (ta’awun).
6.      Seluruh produk dan operasional bank syariah didasarkan pada syariat. Produk bank syariah harus merupakan  produk perbankan yang halal. Operasional bank syariah pun harus sesuai dengan syariat Islam, misalnya etika pelayanan dan pakaian yang dikenakan para pegawai bank Islam juga harus sesuai dengan syariat Islam. Untuk menjaga agar produk dan operasional bank Islam tetap berada dalam koridor syariat, maka bank syariah dilengkapi/diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah. Dewan ini merupakan internal control untuk menjaga kehalalan produk dan operasional bank syariah. Di samping itu, secara nasional juga terdapat Dewan Syariah Nasional yang menjadi rujukan bagi dewan syariah pada bank dalam melakukan pengawasan terhadap bank syariah.
Bank Islam dalam menjalankan usahanya adalah "minimal mempunyai 5 prinsip operasional yang terdiri dari (1) sistem simpanan, (2) bagi hasil, (3) margin keuntungan, (4) sewa, (5) fee".
a.    Prinsip Simpanan Murni (al’Wadiah)
Prinsip simpanan murni merupakan fasilitas yang diberikan oleh bank Islam untuk memberikan kesempatan kepada pihak yang kelebihan dana untuk menyimpan dananya dalam bentuk al-Wadiah. Fasilitas al-Wadiah diberikan untuk tujuan investasi guna mendapatkan keuntungan seperti halnya tabungan dan deposito.
b.    Bagi Hasil (Syirkah)
Sistem ini adalah suatu sistem yang meliputi tata cara pembagian hasil usaha antara penyedia dana dengan pengelola dana. Pembagian hasil usaha ini dapat terjadi antara bank dengan penyimpan dana, maupun antara bank dengan nasabah penerima dana. Bentuk produk yang berdasarkan prinsip ini adalah mudharabah dan musyarakah. Namun, prinsip Mudharabah dapat dipergunakan sebagai dasar baik untuk produk pendanaan (tabungan dan deposito) maupun pembiayaan, sementara musyarakah lebih banyak untuk pembiayaan.
c.    Prinsip Jual beli (at-Tijarah)
Prinsip ini merupakan suatu sistem yang menerapkan tata cara jual beli, dimana bank akan membeli terlebih dahulu barang yang dibutuhkan atau mengangkat nasabah sebagai agen bank melakukan pembelian atas nama bank, kemudian bank menjual barang tersebut kepada nasabah dengan harga beli ditambah keuntungan (margin).
d.      Prinsip Sewa (al-Ijarah)
Prinsip ini secara garis besar terbagi atas dua jenis : (1). Ijarah, sewa murni, seperti halnya penyewaan alat-alat produk (operating lease). Dalam teknis perbankan, bank dapat membeli dahulu equipment yang dibutuhkan nasabah kemudian menyewakan dalam waktu dan hanya telah disepakati kepada nasabah. (2) Bai al takjiri atau ijarah al muntahiya bit tamlik merupakan penggabungan sewa dan beli, dimana si penyewa mempunyai hak untuk memiliki barang pada akhir masa sewa (finansial lease).
e.    Prinsip jasa/fee (al-Ajr walumullah)
Prinsip ini meliputi seluruh layanan non-pembiayaan yang diberikan bank. Bentuk produk yang berdasarkan prinsip ini antara lain Bank Garansi, Kliring, Inkaso, Jasa, Transfer.
Dengan demikian prinsip syariah merupakan aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai dengan syariah.

Beberapa prinsip yang dianut oleh sistem perbankan syariah antara lain :
1)   Pembayaran terhadap pinjaman dengan nilai yang berbeda dari nilai pinjaman dengan nilai ditentukan sebelumnya tidak diperbolehkan.
2)   Pemberi dana harus turut berbagi keuntungan dan kerugian sebagai akibat hasil usaha institusi yang meminjam dana.
3)   Islam tidak memperbolehkan “menghasilkan uang dari uang”. Uang hanya merupakan media pertukaran dan bukan komoditas karena tidak memiliki nilai intrinsik.
4)   Unsur Gharar (ketidakpastian, spekulasi) tidak diperkenankan. Kedua belah pihak harus mengetahui dengan baik hasil yang akan mereka peroleh dari sebuah transaksi.
5)   Investasi hanya boleh diberikan pada usaha-usaha yang tidak diharamkan dalam Islam.
Berdasarkan hal tersebut, prinsip perbankan syariah pada akhirnya akan membawa kemaslahatan bagi umat karena menjanjikan keseimbangan sistem ekonominya. Di dalam perbankan syari’ah telah diatur berbagai macam transaksi yang tidak merugikan bagi kedua pihak. Karena jika sampai ada yang dirugikan dan dirugikan maka sudah melanggar ajaran Islam itu sendiri. Untuk itu, prinsip perbankan syari’ah bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits.
Mengawali pembahasan tentang prinsip operasional Bank Syariah,  Sistem keuangan dan perbankan Islam sendiri adalah merupakan bagian dari konsep yang lebih luas tentang ekonomi Islam, yang tujuannya memperkenalkan sistem nilai dan etika Islam ke dalam lingkungan ekonomi. Karena dasar etika ini maka keuangan dan perbankan Islam bagi kebanyakan muslim adalah bukan sekedar sistem transaksi komersial, tapi juga merupakan wadah masyarakat muslim untuk menerapkan prinsip keislaman disemua aspek kehidupan termasuk dalam kegiatan ekonomi mereka. Dibawah ini beberapa prinsip dari operasional Bank Syariah.
Prinsip Utama yang ada dalam Bank Syariah diantaranya :
a.         Prinsip Al Ta’awun, yaitu saling membantu dan saling bekerja sama diantara anggota masyarakat untuk kebaikan.
b.         Prinsip menghindari Al Iktinaz, yaitu menahan uang (dana) dan membiarkannya menganggur dan tidak berputar dalam transaksi yang bermanfaat bagi masyarakat umum.
c.         Larangan riba (bunga) dalam berbagai bentuk transaksi.
d.        Menjalankan bisnis dan aktivitas perdagangan yang berbasis pada memperoleh keuntungan yang sah menurut syariah serta memberikan zakat.
Sistem Operasional Bank Syariah, sistem keuangan dan perbankan modern telah berusaha memenuhi kebutuhan manusia untuk mendanai kegiatannya, bukan dengan dananya sendiri, melainkan dengan dana orang lain, baik dalam bentuk penyertaan (equity financing) maupun dalam bentuk pinjamanan (debt financing). Islam mempunyai hukum sendiri untuk memenuhi kebutuhan tersebut, yaitu melalui akad-akad bagi hasil (Profit and Loss Sharing), sebagai metode pemenuhan kebutuhan permodalan (equity financing), dan akad-akad jual-beli (al bai’) untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan (debt financing) dengan produk produk Bank Syariah yang sudah kita ketahui dan banyak kita kaji.
Lalu mengenai prinsip dasar kegiatan usahanya Bank Syariah mempunyai batasan-batasan yang harus menjalankan usahanya berdasarkan pada syariat Islam, akibatnya Bank Syariah juga harus menetapkan dan menerapkan serta menjaga prinsip-prinsip yang tidak bertentangan dengan syariat Islam.
a.       Produk Pembiayaan
o    Musyarakah (Joint Venture Profit Sharing)
o    Mudharabah (Trustee Profit Sharing)
o    Al Murabahah
o    Al Bai’
o    Bai’ as Salam
o    Bai’ al Istishna’
o    Sewa dan Sewa-beli (Ijarah dan Ijarah wa Iqtina)
o    Al Qard al Hasan
b.      Produk Penghimpunan Dana (Funding)
o    Rekening Koran
Sedikit kami singgung mengenai Rekening Koran yakni jasa simpanan dana dalam bentuk Rekening Koran diberikan oleh bank Islam dengan prinsip Al Wadi’ah yad Dhamanah, di mana penerima simpanan bertanggung jawab penuh atas segala kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada aset titipan tersebut. Dengan prinsip ini, bank menerima simpanan dana dari nasabah yang memerlukan jasa penitipan dengan kebebasan mutlak untuk menariknya kembali sewaktu-waktu.
o    Rekening Tabungan (prinsip Wadi’ah)
o    Rekening Investasi Umum (prinsip mudharabah mutlaqah)
o    Rekening investasi khusus (simpanan dari pemerintah, atau nasabah korporasi dengan prinsip mudharabah)
c.       Produk Jasa-jasa
o   Rahn
o   Wakalah
o   Kafalah
o   Hawalah
o   Sharf (transaksi pertukaran antara emas dengan perak atau pertukaran valuta asing)
Kegiatan usaha atau operasional bank syariah menganut 3 (tiga) prinsip utama dalam bank syariah. Prinsip-prinsip utama tersebut adalah : 
1.      Prinsip Keadilan, Prinsip ini tercermin dari penerapan imbalan atas dasar bagi hasil dan pengambilan margin keuntungan yang disepakati bersama antara bank dan nasabah
2.      Prinsip Kesederajatan
Bank syariah menempatkan nasabah penyimpan dana, nasabah pengguna dana, maupun bank pada  kedudukan yang sama dan sederajat. Hal ini tercermin dalam hak,    kewajiban, risiko dan keuntungan yang berimbang diantara nasabah penyimpan dana, nasabah pengguna dana maupun bank.
3.      Prinsip Ketentraman
Produk-produk bank syariah telah sesuai dengan prinsip dan kaidah mu’amalah Islam (halal), antara lain ada unsur riba dan menerapkan zakaat harta. Dengan demikian nasabah merasakan ketentraman lahir maupun batin.
 
Berdasarkan pada 3 (tiga) prinsip utama bagi bank syariah tersebut di atas, maka dalam operasional kegiatan pelayanan kepada masyarakat bank syariah menerapkan prinsip-prinsip dasar perbankan syariah. Prinsip-prinsip dasar tersebut adalah :
1. Prinsip Titipan atau Simpanan (depository/Al Wadi’ah)
2. Prinsip Bagi Hasil (Profit Sharing/Al Musyarakah & Al Mudharabah)
3. Prinsip Jual Beli (Sale and Purchase/Bai’ Al Murabahah)
4. Prinsip Sewa (Lease/Al Ijarah)
5. Prinsip Jasa (Fee Based Services)
Prinsip titipan atau simpanan dalam tradisi fiqh Islam dikenal dengan prinsip Al Wadi’ah. Al Wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki. Akad Wadi’ah merupakan suatu akad yang bersifat tolong menolong antara sesama manusia.  Wadi’ah yang dipraktekan pada bank-bank syariah di Indonesia adalah wadi’ah dalam pengertian sebagai titipan murni yang dengan seizin penitip boleh digunakan oleh pihak bank, sehingga konsep wadi’ah yang dipergunakan adalah wadi’ah yad ad daminah (titipan dengan risiko ganti rugi). Secara umum prinsip bagi hasil dalam perbankan syariah dapat dilakukan dalam 4 (empat) akad utama, yaitu : al musyarakah, al mudharabah, al muzara’ah dan al musaqah. Sungguh pun demikian, prinsip yang paling banyak dipakai adalah al musyarakah dan al mudharabah, sedangkan al muzara’ah dan al musaqah dipergunakan khusus untuk pembiayaan pertanian (plantation financing) oleh beberapa bank syariah.

Al musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Sedangkan al mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh modal (100%), sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi akan ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian dari si pengelola, maka si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut. Bentuk-bentuk akad jual beli yang sering dipergunakan dalam pembiayaan modal kerja dan investasi dalam perbankan syariah adalah bai’ al murabahah, bai’ as salam dan bai’ al istishna. Murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Sistem pembiayaan ini pada dasarnya adalah pembiayaan dengan sistem jual beli, dimana bank membiayai pembelian barang kepada nasabah adalah sebesar harga pokok barang ditambah margin keuntungan yang disepakati antara bank dan nasabah. Sedangkan pengertian dari bai’ as salam adalah pembelian barang yang akan diserahkan di kemudian hari dengan pembayaran yang dilakukan di muka.
Prinsip sewa (al ijarah) adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri. Bank syariah yang menawarkan produk al ijarah ini dapat melakukan leasing, baik dalam bentuk operating lease maupun financial lease. Di samping keempat prinsip dasar dalam perbankan syariah sebagaimana telah diuraikan di atas, maka masih terdapat satu prinsip dasar lagi yaitu prinsip jasa. Termasuk dalam kelompok jasa ini terdapat beberapa produk bank syariah, yaitu : al wakalah, al kafalah, al hawalah, ar-rahn dan al qardh. Prinsip jasa dalam perbankan syariah ini merupakan prinsip yang bersifat mendukung dan melengkapi terhadap prinsip-prinsip dasar lainnya, karena dalam kelompok jasa ini biasanya dipergunakan sebagai akad tambahan yang bersifat jaminan/menjamin terhadap produk/akad lain.

PRINSIP PENYALURAN DANA
Kegiatan penyaluran dana atau pembiayaan Bank Syariah harus tetap berpedoman pada prinsip-prinsip kehati-hatian yang diatur oleh Bank Indonesia. Oleh karena itu, bank diwajibkan untuk meneliti secara seksama calon nasabah penerima dana berdasarkan azas pembiayaan yang sehat. Ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dengan penyaluran dana perbankan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Bentuk penyaluran dana atau pembiayaan yang dilakukan Bank Syariah dalam melaksanakan operasinya secara garis besar dapat dibedakan ke dalam 4 kelompok:
a.       Prinsip Jual Beli (Ba’i)
Dalam penerapan prinsip syariah terdapat 3 jenis prinsip jual beli (ba’i) yang banyak dikembangkan oleh perbankan syariah dalam kegiatan pembiayaan modal kerja dan produksi, yaitu:


1)        Ba’i Al-Murabahah
Pada dasarnya adalah transaksi jual beli barang dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Untuk memenuhi kebutuhan barang oleh nasabahnya, bank membeli barang dari supplier sesuai dengan spesifikasi barang yang dipesan atau dibutuhkan nasabah, kemudian bank menjual kembali barang tersebut kepada nasabah dengan memperoleh marjin keuntungan yang disepakati. Nasabah sebagai pembeli dalam hal ini dapat memilih jenis transaksi tunai, cicilan, atau tangguhan. Umumnya, nasabah memilih metode pembayaran secara cicilan.
Prinsip murabahah banyak diterapkan dalam pembiayaan pengadaan barang investasi. Skema ini paling banyak digunakan karena sederhana dan menyerupai kredit investasi pada bank konvensional. Skema murabahah sangat berguna bagi seseorang yang membutuhkan barang secara mendesak tetapi kekurangan dana. Ia meminta pada bank agar membiayai pembelian barang tersebut dan membayarnya sesuai kemampuan keuangannya. Harga jual pada pemesanan adalah harga poko ditambah marjin keuntungan yang disepakati. Kesepakatan harga jual dicantumkan dalam akad jual beli dan tidak dapat berubah menjadi lebih mahal selama berlakunya akad.
2)        Ba’i As-Salam
Adalah pembelian suatu barang yang penyerahannya (delivery) dilakukan kemudian hari sedangkan pembayarannya dilaksanakan di muka secara tunai. Ba’i as-salam dalam perbankan biasanya diaplikasikan pada pembiayaan berjangka pendek untuk produksi agribisnis atau hasil pertanian atau industri lainnya. Barang yang dibeli harus diketahui secara jelas jenis, macam, ukuran, mutu, dan jumlahnya. Harga jual yang disepakati harus dicantumkan dalam akad dan tidak boleh berubah selama berlakunya akad. Apabila barang atau hasil produksi yang diterima cacat atau tidak sesuai dengan akad, maka penjual atau produsen harus bertanggung jawab dengan cara mengembalikan dana yang telah diterimanya atau mengganti barang yang sesuai pesanan.
Mengingat bank tidak memproduksi atau memiliki persediaan atas barang yang dibeli atau dipesan nasabah, maka dimungkinkan bagi bank untuk melakukan akad as-salam dengan pihak lain yakni pemasok, misalnya bulog, pedagang pasar induk, atau rekanan lain. Mekanisme transaksi as-salam seperti ini disebut dengan Pararel As-Salam.
Kalau diperhatikan sepintas, transaksi ba’i as-salam ini menyerupai praktik ijonn yang masih banyak ditemukan di desa-desa. Kedua transaksi ini sebenanya sangat jelas perbedaannya. Dalam praktik ijon, barang yang dibeli (diijon) tidak dihitung datau diukur secara spesifik. Penentuan harga tidak transparan, cenderung sepihak, dan sangat memberatkan pihak penjual sebagai pihak lemah. Harga biasanya ditentukan untuk suatu hasil setelah panen. Sebaliknya, dalam ba’i as-salam kesepakatan antara pembeli dan penjual meliputi harga, ukuran kuantitas, dan yang paling penting adalah harga barang dibayar di muka secara tunai. Di samping itu, transaksi as-salam lebih cenderung bersifat suka sama suka.
3)      Ba’i Al-Istishna’
Pada dasarnya merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang dengan pembayaran di muka, baik dilakukan dengan cara tunai, cicilan, atau tangguhan. Untuk melaksanakan skim ba’i al-istishna’ kontrak dilakukan di tempat pembuatan barang menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang dapat saja membuat barang yang dipesan atau dibeli sesuai spesifikasi pesanan yang disebutkan dalam kontrak, kemudian menjualnya kembali kepada pembeli. Prinsip ba’i istishna’ ini menyerupai bai as-sala, namun dalam istishna’ pembayarannya dapat dilakukan di muka, cicilan, atau ditangguhkan. Sementara dalam skim ba’i as-salam dilakukan secara tunai.
Skim istishna’ dalam bank syariah umumnya diaplikasikan pada pembiayaan manufaktur, industri kecil menengah, dan konstruksi. Dalam istishna’ ini kriteria barang pesanan harus jelas jenis, macam, ukuran, mutu, dan jumlah. Harga jual yang telah disepakati dicantumkan dalam akad istishna’ dan tidak boleh berubah selama berlakunya akad. Jika terjadi perubahan kriteria pesanan dan terjadi perubahan harga setelah akad ditandatangani, maka seluruh biaya tambahan tetap ditanggung oleh nasabah.
Dalam pelaksanaannya istishna’ dapat dilakukan melalui dua macam cara:
a)        Pihak produsen ditentukan oleh bank dan pihak produsen ditentukan oleh nasabah.
b)        Pelaksanaan salah satu dari kedua cara tersebut harus ditentukan di muka dalam akad, berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.

b.      Prinsip Bagi Hasil
Bagi hasil atau profit sharing dalam perbankan berdasarkan prinsip syariah terdiri dari 4 jenis akad, yaitu :
1)        Al-Musyarakah
Antonio Syafi’i (2003) mendefinisikan al-musyarakah yaitu akad kerja sama anata dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana masingmasing pihak memberikan kontribusi dana atau keahlian dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
Bank Indonesia mendefinisikan al-musyarakah sebagai suatu perjanjian diantara para pemilik dana/modal untuk mencampurkan dana/modal mereka pada suatu usaha tertentu, dengan pembagian keuntungan di antara pemilik dana/modal berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya.
Musyarakah dalam bahasa perbankan biasanya diaplikasikan untuk pembiayaan proyek di mana nasabah dan bank sama-sama menyediakan dana untuk membiayay proyek tersebut. Modal yang disetor bisa berupa uang, barang perdagangan (trading asset), property, equipment, atau intangible asset (seperti hak paten dan goodwill)., dan barang-barang lainnya yang dapat dinilai dengan uag. Semua modal digabung dalam proyek musyarakah dan dikelola bersama-sama. Setiap pemilik modal berhak turut serta dalam menentukan kebijakan usaha yang dijalankan oleh pelaksana proyek.
Pemilik modal yang dipercaya untuk menjalankan proyek musyarakah tidak boleh melakukan tindakan seperti:
a.    Menggabungkan dana proyek dengan harta pribadi.
b.    Menjalankan proyek musyarakah dengan pihak lain tanpa ijin dari pemilik modal lainnya.
c.    Memberikan pinjaman kepada pihak lain.
Setiap pemilik modal dapat mengalihkan penyertaan atau digantikan oleh pihak lain. Setiap pemilik modal dianggap mengakhiri kerjasama apabila:
a. Menarik diri dari perserikatan.
b. Meninggal dunia.
c. Menjadi tidak cakap hukum.

Dalam hal di mana pemilik modal sepakat untuk menunjuk pihak ketiga sebagai pengelola proyek (wakil), maka ada 2 perjanjian yang berlaku. Perjanjian pertama yaitu perjanjian musyarakah antar pemilik modal. Perjanian kedua adalah perjanjian mudharabah atau murabahah, yaitu antara pemilik modal dengan pengelola proyek (wakil). Biaya yang timbul dalam pelaksanaan proyek serta jangka waktu proyek harus diketahui bersama.
Perbankan Islam memberikan layanan bebas bunga kepada para nasabahnya. Pembayaran dan penarikan bunga dilarang dalam semua bentuk transaksi. Islam melarang kaum muslim menarik atau membayar bunga atau riba. Pelarangan inilah yang membedakan sistem perbankan Islam dengan sistem perbankan konvesional. Riba secara bahasa bermakna: ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar. Adapun menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaks jual beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam. Larangan riba yang terdapat dalam Al-Qur’an
 tidak diturunkan sekaligus, melainkan diturunkan dalam empat tahap27:
1)        Tahap pertama, menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang pada lahirnya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan mendekati atau taqarrub kepada Allah SWT.
2)        Tahap kedua, riba digambarkan sebagai suatu yang buruk. Allah SWT. Mengancam akan memberi balasan yang keras kepada orang Yahudi yang memakan riba.
3)        Tahap ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda. Para ahli tafsir berpendapat bahwa pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktikkan pada masa tersebut. Allah berfirman:
4)        Tahap terakhir, Allah SWT. dengan jelas dan tegas mengharamkan apapun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman. Ini adalah ayat terakhir yang diturunkan menyangkut riba.
Prinsip larangan riba ini tidak hanya terdapat pada ajaran Islam, namun juga dapat dilihat pada agama lain. Perjanjian Baru memiliki tiga rujukan mengenai riba, dan Perjanjian Lama empat rujukan.

Prinsip Produk Layanan Perbankan Syariah
Secara umum produk jasa layanan perbankan terdiri atas kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran dana (kredit). Hal yang sama juga dilakukan oleh bank syariah dimana terdapat produk giro, tabungan dan deposito untuk layanan simpanan dan produk pembiayaan untuk layanan penyaluran dana. Perbedaan mendasar produk-produk layanan perbankan syariah bila dibandingkan dengan bank konvensional adalah terletak pada prinsip ketentuan yang ditetapkan.
Dalam sistem syariah kegiatan penghimpunan dana menerapkan prinsip Wadi’ah dan pinsip Mudharabah. Sementara untuk penyaluran danamenganut prinsip Jjual Beli dan prinsip Bagi Hasil. Uraian analisa dari prinsip-prinsip produk layanan perbankan syariah adalah sebagai berikut.
a)         Penghimpunan Dana
1)      Prinsip Wadī’ah dalam produk giro dan tabungan adalah akad titipan
murni dari pihak pemilik barang/dana kepada pihak penerima
kepercayaan untuk menjaga keselamatan, keamanan dan keutuhan. Dalam prinsip ini : (1) pihak yang menerima titipan tidak boleh menggunakan dan memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan. (2) pihak penerima titipan dapat membebankan biaya kepada penitip sebagai penitipan. Aplikasi dalam perbankan syariah adalah simpanan giro wadi’ah dan tabungan wadiah dengan ketentuan: (1) sifatnya merupakan simpanan, (2) simpanan bisa diambil kapan saja (on call) atau sesuai kesepakatan, (3) tidak ada imbalan yang dari bank yang dipersyaratkan kecuali dalam bentuk pemberian (athāya) yang bersifat sukarela dari bank.
Namun apabila berdasarkan kewenangannya prinsip Wadiah dibedakan dalam 2 jenis yaitu menjadi wadi’ah yad dhamānah yang berarti penerima titipan berhak mempergunakan dana/barang titipan untuk didayagunakan tanpa ada kewajiban penerima titipan untuk memberikan imbalan kepada penitip dengan tetap pada kesepakatan dapat diambil setiap saat diperlukan, sedang di sisi lain wadi’ah yad amānah tidak memberikan kewenangan kepada penerima titipan untuk mendayagunakan barang/dana yang dititipkan.
2)   Prinsip Mudhārabah dalam produk tabungan dan deposito adalah akad penyimpanan dana dengan nisbah yang disepakati pada awal akad untuk bagi hasilnya. Dalam prinsip ini (1) nasabah bertindak sebagai ṣāhib al-māl atau pemilik dana dan bank bertindak sebagai mudhārib atau pengelola dana, (2) bank dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan mengembangkannya termasuk didalamnya mudhārabah dengan pihak lain, (3) modal harus dinyatakan dengan jumlahnya, dalam bentuk tunai dan bukan piutang, (4) pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan dalam akad pembukaan rekening, dan (4) Mudhārib menutup biaya operasional tabungan/deposito dengan menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya. Prinsip Mudhārabah berdasarkan kewenangannya dibedakan 2 jenis yaitu mudhārabah mutlaqah dimana mudharib diberikan kewenangan sepenuhnya untuk menentukan pilihan investasi yang dikehendaki. Berdasarkan prinsip ini tidak ada pembatasan bagi bank dalam menggunakan dana yang dihimpun. Sedangkan jenis yang lain adalah mudhārabah muqayyaddah dimana arahan investasi ditentukan oleh pemilik dana sedangkan mudharib bertindak sebagai  pelaksana/pengelola.
B.       Piranti Keuangan dalam Bank Syariah
Sistem keuangan dan perbankan modern telah berusaha memenuhi kebutuhan manusia untuk mendanai kegiatannya, bukan dengan dananya sendiri, melainkan dengan dana orang lain, baik dengan menggunakan prinsip penyertaan dalam rangka pemenuhan permodalan (ecuity financing) maupun dengan prinsip pinjanam dalam rangka pemenuhan kebutuhan pembiayaan (dept financing).
Islam mempunyai hukum sendiri untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Yaitu melalui akad-akad bagi hasil (profit and loss sharing), sebagai metode pemenuhan kebutuhan permodalan (ecuity financing), dan akad-akad jual beli (Al-bai’)untuk memenuhi kebutuhan pembiyaan (dept financing). Bank Islam tidak menggunakan metode pinjaman-pinjaman uang dalam rangka kegiatan komersial, karena setiap pinjaman-pinjaman uang yang dilakukan dengan persyaratan atau janji pemberian imbalan adalah termasuk riba, oleh karena itu mekanisme operasional perbankan syariah dijalankan dengan menggunakan piranti-piranti keuangan yang mendasarkan pada prinsip-prinsip berikut:
a.       Musyarakah (Joint Venture Profit Sharing)
Musyarakah memungkinkan dua pihak atau lebih untuk mengumpulkan modal bersama untuk membentuk sebuah lembaga atau perusahaan. Untuk pembagian keuntungan dibagi secara proporsional dan setiap pihak mempunyai wewenang untuk mengawasi perusahaan sesuai dengan kontribusi modal mereka
b.      Mudharabah (Trustee Profit Sharing)
Dalam mudharabah terdapat hubungan antara pemilik modal (shohibul maal) dan pelaku usaha (mudharib). Dimana pemilik modal memberikan modalnya kepada pelaku usaha untuk melakukan usaha perdagangan. Jika proyek atau usaha tealah selesai, mudharib akan mengembalikan modal tersebut kepada penyedia modal berikut porsi keuntungan yang telah disetujui sebelumnya. Ada dua tipe dalam mudharabah yaitu terikat, yang mana pemilik modal memberikan ketentuan kepada pe;aku usaha dalam penggunaan mdal tersebut dengan jangka waktu, tempat, jenis usaha, dan sebagainya. Sedangkan yang tidak terikat tidak ada ketentuan dari pemilik modal bagi pelaku usaha dalam pemanfaatan modalnya sehingga mudharib memiliki keluasaan penuh dalam pengelolaan modal untuk usaha yang dianggap baik dan menguntungkan.
c.       Murabahah
Murabahah adalah kontarak jual-beli atas barang tertentu. Dalam transaksi ini penjual harus menyebutkan dengan jelas barang yang diperjual-belikan dan barang tersebut bukan barang haram. Praktek ini tentunya harus sesuai dengan kaidah muamalah Islamiyah.
d.      Ijarah
Ijarah atau sewa adalah memberi penyewa kesempatan untuk memanfaatkan barang sewaan untuk jangka waktu tertentu dengan imbalan yang telah disepakati bersama. Ada dua macam ijarah yaitu ijarah mutlaqah, ijarah jenis ini adalah proses sewa-menyewa yang banyak kita temui dalam kegiatan perekonomian sehari-hari dalam masyarakat. Satu lagi disebut bai at takhrij, yaitu suatu kontrak sewa yang diakhri dengan penjualan. Dalam hal ini pembayaran sewa telah diperhitungkan sehingga sebagian dari sewa merupakan pembayaran secara berangsur.
e.       Bai’ al istishna
Bai’ al istishna adalah akad jual-beli antara pembeli (mustashni’) dan produsen (shani’) dimana barang yang akan diperjual-belikan belum ada dan harus dibuat dulu dengan kriteria yang jelas. Pembayaran dapat dilakukan di awal, di tengah atau di akhir baik secara kontan maupun secara bertahap.

Sistem keuangan dan perbankan modern telah berusaha memenuhi kebutuhan manusia untuk mendanai kegiatannya, bukan dengan dananya sendiri, melainkan dengan dana orang lain, baik dengan menggunakan prinsip penyertaan dalam rangka pemenuhan permodalan (equity financing) maupun dengan prinsip pinjaman dalam rangka pemenuhan kebutuhan pembiayaan (debt financing). span class=”fullpost” Islam mempunyai hukum sendiri untuk memenuhi kebutuhan tersebut, yaitu melalui akad-akad bagi hasil (profit and loss sharing}, sebagai metode pemenuhan kebutuhan permodalan (equity financing), dan akad-akad jual-beli (al bai’) untuk memenuhi kebutuhan pembi­ayaan (debt financing). Bank Islam tidak menggunakan metode pinjam-meminjam uang dalam rangka kegiatan komersial, karena setiap pinjam-meminjam uang yang dilakukan dengan persyaratan atau janji pemberian imbalan adalah termasuk riba. Oleh karena itu mekanisme operasional perbankan Syariah dijalankan dengan menggunakan piranti-piranti keuangan yang mendasarkan pada prinsip-prinsip berikut:
a.       Prinsip Bagi Hasil (Profit and Loss Sharing)
Ada dua macam kontrak dalam kategori ini yaitu: musyarakah (joint venture profit sharing) dan mudharabah (trustee profit sharing).
1)      Musyarakah (Joint Venture Profit Sharing) Melalui kontrak ini, dua pihak atau lebih (termasuk bank dan lembaga keuangan bersama nasabahnya) dapat mengumpulkan modal mereka untuk membentuk sebuah perusahaan (syirkah al inan) sebagai sebuah badan hukum (legal entity). Setiap pihak memiliki bagian secara proporsional sesuai dengan kontribusi modal mereka dan mempunyai hak mengawasi (voting right) perusahaan sesuai dengan proporsinya. Untuk pembagian keuntungan, setiap pihak menerima bagian ke-untungan secara proporsional dengan kontribusi modal masing-masing atau sesuai dengan kesepakatan yang telah ditentukan sebelumnya. Bila perusahaan merugi, maka kerugian itu juga dibebankan secara proporsional kepada masing-masing pemberi modal.
Aplikasinya dalam perbankan terlihat pada akad yang diterapkan pada usaha atau proyek di mana bank membiayai sebagian saja dari jumlah kebutuhan investasi atau modal kerjanya. Selebihnya dibiayai sendiri oleh nasabah. Akad ini juga diterapkan pada sindikasi antar bank atau lembaga keuangan. Dalam kontrak tersebut, salah satu pihak dapat mengambil alih modal pihak lain sedang pihak lain tersebut menerima kembali modal mereka secara bertahap. Inilah yang disebut Musyarakah al Mutanaqishah. Aplikasinya dalam perbankan adalah pada pembiayaan proyek oleh bank bersama nasabahnya atau bank dengan lembaga keuangan lainnya, di mana bagian dari bank atau lembaga keuangan diambil alih oleh pihak lainnya dengan cara mengangsur. Akad ini juga dapat dilaksanakan pada mudharabah yang modal pokoknya dicicil, sedangkan usahanya berjalan terus dengan modal yang tetap.

2)      Mudharabah (Trustee Profit Sharing)
Kontrak mudharabah juga merupakan suatu bentuk equity financ­ing, tetapi mempunyai bentuk (feature) yang berbeda dari musyarakah. Pada mudharabah, hubungan kontrak bukan antar pemberi modal, melainkan antara penyedia dana (shahibul maal) dengan entrepreneur (mudharib). Pada kontrak mudharabah, seorang mudharib (dapat berupa perorangan, rumah tangga perusahaan atau suatu unit ekonomi, ter­masuk bank) memperoleh modal dari unit ekonomi lainnya untuk tujuan melakukan perdagangan. Mudharib dalam kontrak ini menjadi trustee atas modal tersebut. Jika proyek selesai, mudharib akan mengembalikan modal tersebut kepada penyedia modal berikut porsi keuntungan yang telah disetujui sebelumnya. Bila terjadi kerugian maka seluruh kerugian dipikul oleh shahibul maal. Sedang mudharib kehilangan keuntungan (imbalan bagi-hasil) atas kerja yang telah dilakukannya.
Bank dan lembaga keuangan dalam kontrak ini dapat menjadi salah satu pihak. Mereka dapat menjadi pengelola dana (mudharib) dalam hubungan mereka dengan para penabung dan investor, atau dapat menjadi penyedia dana (shahibul maal) dalam hubungan mereka dengan pihak pengguna dana. Ada dua tipe mudharabah, yaitu Mutlaqah (tidak terikat) dan Muqayyadah (terikat).
a)              Mudharabah Mutlaqah: pemilik dana memberikan keleluasaan penuh kepada pengelola untuk menggunakan dana tersebut dalam usaha yang dianggapnya baik dan menguntungkan. Pengelola bertanggung jawab untuk mengelola usaha sesuai dengan praktek kebiasaan usaha normal yang sehat (uruf).
b)              Mudharabah Muqayyadah: pemilik dana menentukan syarat dan pembatasan kepada pengelola dalam penggunaan dana tersebut dengan jangka waktu, tempat, jenis usaha dan sebagainya. Pengelola menggunakan modal tersebut dengan tujuan yang dinyatakan secara khusus, yaitu untuk menghasilkan keuntungan.
b.      Prinsip Jual-Beli
Pengertian jual-beli meliputi berbagai akad pertukaran (exchange contract) antara suatu barang dan jasa dalam jumlah tertentu atas barang dan jasa lainnya. Penyerahan jumlah atau harga barang dan jasa tersebut dapat dilakukan dengan segera (cash and carry) ataupun secara tangguh (deferred). Oleh karenanya, untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan (debt financing) syarat-syarat al bai’ menyangkut berbagai tipe kontrak jual-beli tangguh (deferred contract of exchange). Dalam hukum ekonomi Islam, telah diidentifikasi dan diuraikan macam-macam jual-beli, termasuk jenis-jenis jual-beli yang dilarang oleh Islam. Berdasarkan barang yang dipertukarkan, jual beli terbagi empat macam;

1)        Bai’ al muthlaqah, yaitu pertukaran antara barang atau jasa dengan uang. Uang berperan sebagai alat tukar. Jual-beli semacam ini menjiwai semua produk-produk lembaga keuangan yang didasar-kan atas prinsip jual-beli.
2)        Bai’ al muqayyadah, yaitu jual-beli di mana pertukaran terjadi antara barang dengan barang (barter). Aplikasi jual-beli semacam ini dapat dilakukan sebagai jalan keluar bagi transaksi ekspor yang tidak dapat menghasilkan valuta asing (devisa). Karena itu dilaku­kan pertukaran barang dangan barang yang dinilai dalam valuta asing. Transaksi semacam ini lazim disebut counter trade.
3)        Bai’ al sharf, yaitu jual-beli atau pertukaran antara satu mata uang asing dengan mata uang asing lain, seperti antara rupiah dengan dolar, dolar dengan yen dan sebagainya. Mata uang asing yang diperjualbelikan itu dapat berupa uang kartal (bank notes) ataupun dalam bentuk uang giral (telegrafic transfer atau mail transfer).
4)        Bai’ as salam adalah akad jual-beli di mana pembeli membayar uang (sebesar harga) atas barang yang telah disebutkan spesifikasinya, sedangkan barang yang diperjualbelikan itu akan diserahkan kemudian, yaitu pada tanggal yang disepakati. Bai’ as salam biasanya dilakukan untuk produk-produk pertanian jangka pendek.

Sedangkan pembagian jual beli berdasarkan harganya terbagi empat macam;
1)   Bai’ al murabahah adalah akad jual-beli barang tertentu. Dalam transaksi jual-beli tersebut penjual menyebutkan dengan jelas barang yang diperjualbelikan, termasuk harga pembelian dan keuntungan yang diambil.
2)   Bai’ al musawamah adalah jual-beli biasa, di mana penjual tidak memberitahukan harga pokok dan keuntungan yang didapatnya.
3)   Bai’ al muwadha’ah yaitu jual-beli di mana penjual melakukan penjualan dengan harga yang lebih rendah daripada harga pasar atau dengan potongan (discount). Penjualan semacam ini biasanya hanya dilakukan untuk barang-barang atau aktiva tetap yang nilai bukunya sudah sangat rendah.
4)   Bai’ al-tauliyah, yaitu jual beli dimana penjual melakukan penjualan dengan harga yang sama dengan harga pokok barang. Terdapat bentuk jual-beli lain yang disebut dengan Bai’ al istishna’, yaitu kontrak jual-beli di mana harga atas barang tersebut dibayar lebih dulu tapi dapat diangsur sesuai dengan jadwal dan syarat-syarat yang di­sepakati bersama, sedangkan barang yang dibeli diproduksi dan diserahkan kemudian. Di antara jenis-jenis jual-beli tersebut, yang lazim digunakan sebagai model pembiayaan syariah adalah pembiayaan berdasarkan prinsip bai’ al murabahah, bai’ as- salam dan bai’ al istishna’.

a)      Al-Murabahah
Murabahah adalah salah satu bentuk jual-beli yang bersifat amanah. Bentuk jual-beli ini berlandaskan pada sabda Rasulullah SAW dari Shuhaib ar Rumy r.a.: “Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai (murabahah), muqaradhah (nama lain dari mudharabah) dan mencampur tepung dengan gandum untuk kepentingan rumah, bukan untuk diperjual­belikan.”(HR. Ibnu Majah) Al Murabahah adalah kontrak jual-beli atas barang tertentu.
Pada transaksi jual-beli tersebut penjual harus menyebutkan dengan jelas barang yang diperjualbelikan dan tidak termasuk barang haram. Demikian juga, harga pembelian dan keuntungan yang diambil dan cara pembayarannya harus disebutkan dengan jelas. Dalam teknis perbankan, murabahah adalah akad jual-beli antara bank selaku penyedia barang (penjual) dengan nasabah yang memesan untuk membeli barang. Bank memperoleh keuntungan dari jual-beli yang disepakati bersama. Rukun dan syarat murabahah adalah sama dengan rukun dan syarat dalam fiqih, sedangkan syarat-syarat lain seperti barang, harga dan cara pembayaran adalah sesuai dengan kebijakan bank yang bersangkutan. Harga jual bank adalah harga beli dari pemasok ditambah keuntungan yang disepakati bersama. Jadi nasabah mengetahui keuntungan yang diambil oleh bank. Selama akad belum berakhir maka harga jual-beli tidak boleh berubah. Apabila terjadi perubahan maka akad tersebut menjadi batal.
Cara pembayaran dan jangka waktunya disepakati bersama, bisa secara lumpsum ataupun secara angsuran. Murabahah dengan pem­bayaran secara angsuran ini disebut juga bai’ bi tsaman ajil. Dalam prak-teknya nasabah yang memesan untuk membeli barang menunjuk pemasok yang telah diketahuinya menyediakan barang dengan spesifikasi dan harga yang sesuai dengan keinginannya. Atas dasar itu bank melakukan pembelian secara tunai dari pemasok yang dikehendaki oleh nasabahnya, kemudian menjualnya secara tangguh kepada nasabah yang bersangkutan. Melalui akad murabahah, nasabah dapat memenuhi kebutuhannya untuk memperoleh dan memiliki barang yang dibutuhkan tanpa harus menyediakan uang tunai lebih dulu. Dengan kata lain nasabah telah memperoleh pembiayaan dari bank untuk pengadaan barang tersebut.
b)      Bai’ as Salam Secara etimologi salam berarti salaf (dahulu). Bai’ as salam ada­lah akad jual-beli suatu barang di mana harganya dibayar dengan segera, sedangkan barangnya akan diserahkan kemudian dalam jang­ka waktu yang disepakati. Beberapa landasan Syariah dapat disebutkan antara lain: Ibn Abbas berkata: “Aku bersaksi bahwa salam yang dijamin untuk waktu tertentu benar-benar dihalalkan oleh Allah dan diizinkan,” kemudian ia membaca ayat 282 dari QS Al Baqarah. Menjual sesuatu yang tidak ada pada diri penjual tidak diperbolehkan. Sabda Rasulullah: “Janganlah kamu menjual barang yang tidak ada padamu” (HR Ahmad, At Tarmidzi, dan Ibn Hibban). Oleh karena itu dalam bai’ as salam harus ada jaminan bahwa penyediaan barang yang dipesan dapat dipenuhi. Ibnu Abbas r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW tiba di Madinah di mana mereka melakukan salaf untuk penjualan buah-buahan dengan jangka waktu satu tahun atau dua tahun, lalu beliau bersabda: “Barangsiapa yang melakukan salaf hendaknya melakukannya dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, sampai pada batas waktu tertentu.”(HR. Bukhari).
Dalam teknis perbankan syariah, salam berarti pembelian yang dilakukan oleh bank dari nasabah dengan pembayaran di muka dengan jangka waktu penyerahan yang disepakati bersama. Harga yang dibayarkan dalam salam tidak boleh dalam bentuk utang melainkan dalam bentuk tunai yang dibayarkan segera. Tentu saja bank tidak bermaksud hanya melakukan salam untuk memperoleh barang. Barang itu harus dijual lagi untuk memperoleh keuntungan. Oleh karena itu dalam prakteknya transaksi pembelian salam oleh bank selalu diikuti atau dibarengi dengan transaksi penjualan kepada pihak atau nasabah lainnya. Apabila penjualan barang itu juga dilakukan dalam bentuk salam, maka transaksi itu menjadi paralel salam. Bank dapat juga melakukan penjualan barang itu dengan menggunakan skema murabahah. Pada umumnya nasabah yang memerlukan fasilitas salam adalah nasabah yang menerima pesanan dari pelanggannya dengan syarat bahwa harga atas barang itu akan dibayar setelah barang diserahkannya. Sementara nasabah tidak memiliki dana yang cukup untuk melakukan pengadaan barang yang dipesan tersebut. Agar nasabah dapat memperoleh dana yang dibutuhkan itu maka ia bukan melakukan penjualan langsung kepada pemesannya, melainkan menjual kepada bank dengan salam dan posisinya sebagai penjual terhadap pemesannya digantikan oleh bank. Tentu saja harga dalam jual-beli antara bank dengan nasabah produsen itu lebih rendah daripada harga yang disepakati antara produsen dengan pemesan barang. Selisih harga itu menjadi keuntungan bank.
c)      Bai’ al-Istishna’
Bai’ al-Istishna’ adalah akad jual-beli antara pemesan/pembeli (mustashni’) dengan produsen/penjual (shani’) di mana barang yang akan diperjualbelikan harus dibuat lebih dulu dengan kriteria yang jelas. Istishna’ hampir sama dengan bai’ as salam, bedanya hanya terletak pada cara pembayarannya; pada salam, pembayarannya harus dimuka dan segera, sedang pada istishna’ pembayarannya boleh di awal, di tengah atau di akhir, baik sekaligus ataupun secara bertahap. Dalam prakteknya bank bertindak sebagai penjual (shani’ ke-1) kepada pemesan/pembeli dan mensubkannya kepada produsen (shani’ ke-2). 3. Prinsip Sewa dan Sewa-Beli Sewa (ijarah) dan sewa-beli (ijarah wa iqtina’ atau disebut juga ijarah muntahiyah bi tamlik) oleh para ulama dianggap sebagai model pembiayaan yang dibenarkan oleh syariah Islam. Model ini secara konvensional dikenal sebagai operating lease dan financing lease. Al ijarah atau sewa adalah kontrak yang melibatkan suatu barang (sebagai harga) dengan jasa atau manfaat atas barang lainnya. Penyewa dapat juga diberi opsi untuk memiliki barang yang disewakan tersebut pada saat sewa selesai, dan kontrak ini disebut al ijarah wa iqtina’ atau al ijarah muntahiyah bi tamlik, di mana akad sewa yang terjadi antara bank (seba­gai pemilik barang) dengan nasabah (sebagai penyewa) dengan cicilan sewanya sudah termasuk cicilan pokok harga barang.

4.      Prinsip Qard
Qard adalah meminjamkan harta kepada orang lain tanpa mengharap imbalan. Dalam literatur fiqih qard dikategorikan sebagai aqd tathawwu’, yaitu akad saling membantu dan bukan transaksi komersial. Dalam rangka mewujudkan tanggung jawab sosialnya, bank Islam dapat memberikan fasilitas yang disebut al qard al hasan, yaitu penye­diaan pinjaman dana kepada pihak-pihak yang patut mendapatkannya. Secara syariah peminjam hanya berkewajiban membayar kembali pokok pinjamannya, walaupun syariah membolehkan peminjam untuk memberikan imbalan sesuai dengan keikhlasannya, tetapi bank sama sekali dilarang untuk meminta imbalan apapun. Bank juga dapat menggunakan akad ini sebagai produk pelengkap untuk memfasilitasi nasabah yang membutuhkan dana talangan segera untuk jangka waktu yang sangat pendek

5.      Prinsip Al Wadi’ah

Wadi’ah menurut bahasa adalah sesuatu yang diletakkan pada yang bukan pemiliknya untuk dijaga. Barang yang dititipkan disebut ida’, yang menitipkan disebut mudi’ dan yang menerima titipan disebut wadi'. Dengan demikian maka pengertian istilah wadi’ah adalah akad antara pemilik barang (mudi’) dengan penerima titipan (wadi’) untuk menjaga harta/modal (ida’) dari kerusakan atau kerugian dan untuk keamanan harta. Ada dua tipe wadi’ah, yaitu wadi’ah yad amanah dan wadi’ah yad dhamanah. a). Wadi’ah Yad Amanah Wadi’ah yad amanah adalah akad titipan di mana penerima titipan (custodian) adalah penerima kepercayaan (trustee), artinya ia tidak diharuskan mengganti segala risiko kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada aset titipan, kecuali bila hal itu terjadi karena akibat kelalaian atau kecerobohan yang bersangkutan atau bila status titipan telah berubah menjadi wadi’ah yad dhamanah. Di bawah prinsip yad amanah ini aset titipan dari setiap pemilik harus dipisahkan, dan aset tersebut tidak boleh dipergunakan dan cus­todian tidak berhak untuk memanfaatkan aset titipan tersebut. Status penerima titipan berdasarkan wadi’ah yad amanah akan berubah menja­di wadi’ah yad dhamanah apabila terjadi salah satu dari dua hal ini: (1) harta dalam titipan telah dicampur, dan (2) custodian menggunakan harta titipan. Penerapannya dalam perbankan dapat dilihat, misalnya dalam pelayanan jasa penitipan surat-surat berharga (custodian). b). Wadi’ah Yad Dhamanah Wadi’ah Yad Dhamanah adalah akad titipan di mana penerima titip­an (custodian) adalah trustee yang sekaligus penjamin (guarantor) ke­amanan aset yang dititipkan. Penerima simpanan bertanggung jawab penuh atas segala kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada aset titipan tersebut. Dengan prinsip ini, custodian menerima simpanan harta dari pemi­liknya yang memerlukan jasa penitipan, dan penyimpan mempunyai kebebasan mutlak untuk menariknya kembali sewaktu-waktu. Di bawah prinsip ini harta titipan tidak harus dipisahkan dan dapat di-gunakan dalam perdagangan, dan custodian berhak atas pendapatan yang diperoleh dari pemanfaatan harta titipan dalam perdagangan. Jadi, custodian memperoleh izin dari pemilik harta untuk menggunakannya dalam perniagaan selama harta tersebut berada di tangannya. Penyimpan sewaktu-waktu dapat menarik sebagian atau seluruh harta yang mereka miliki. Dengan demikian mereka memerlukan jaminan penerimaan kembali atas simpanan mereka. Semua keuntungan yang dihasilkan dari penggunaan harta ter­sebut selama dalam status simpanan adalah menjadi hak custodian. Tetapi custodian diperbolehkan memberikan bonus kepada pemilik harta atas kehendaknya sendiri, tanpa diikat oleh perjanjian.

6.      Prinsip Lainnya

a)      Prinsip Rahn Rahn menurut Syariah adalah menahan sesuatu dengan cara yang dibenarkan yang memungkinkan untuk ditarik kembali. Yaitu menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan Syariah sebagai jaminan utang, sehingga orang yang bersangkutan boleh mengambil utang semuanya atau sebagian. Dengan kata lain Rahn adalah akad menggadaikan barang dari satu pihak kepada pihak lain, dengan utang sebagai gantinya. Rahn adalah satu jenis transaksi tabaru’, karena apa yang diberikan Rahin (pemilik barang) untuk murtahin (pemegang barang) bukan atas imbalan akan sesuatu, ia termasuk transaksi (uqud) ‘ainiyah, di mana tidak dianggap sempurna secuali bila sudah diterima ‘ain al ma’qud.
Dan akad (transaksi) jenis ini ada lima, yaitu hibah, i’arah, ida’, qard dan rahn. Tabaru’ itu tidak sempurna kecuali dengan qard. Dalam teknis perbankan, akad ini dapat digunakan sebagai tambahan pada pembiayaan yang berisiko dan memerlukan jaminan tambahan. Akad ini juga dapat menjadi produk tersendiri untuk melayani kebutuhan nasabah guna keperluan yang bersifat jasa dan konsumtif, seperti pendidikan, kesehatan dan sebagainya. Bank atau lembaga keuangan tidak menarik manfaat apapun kecuali biaya pemeliharaan atau keamanan barang yang digadaikan tersebut.

b)      Prinsip Wakalah
Wakalah adalah akad perwakilan antara dua pihak, di mana pihak pertama mewakilkan suatu urusan kepada pihak kedua untuk bertindak atas nama pihak pertama. Ada beberapa jenis wakalah, antara lain:
o    Wakalah al mutlaqah, yaitu mewakilkan secara mutlak, tanpa batasan waktu dan untuk segala urusan.
o    Wakalah al muqayyadah, yaitu penunjukan wakil untuk bertindak atas namanya dalam urusan-urusan tertentu.
o    Wakalah al ammah, perwakilan yang lebih luas dari al muqayyadah tetapi lebih sederhana daripada al mutlaqah. Dalam aplikasinya pada perbankan Syariah, Wakalah biasanya diterapkan untuk penerbitan Letter of Credit (L/C) atau penerusan permintaan akan barang dalam negeri dari bank di luar negeri (L/C ekspor). Wakalah juga diterapkan untuk mentransfer dana nasabah kepada pihak lain.

c)      Prinsip Kafalah
Istilah kafalah menurut mazhab Hanafi adalah memasukkan tanggung jawab seseorang ke dalam tanggung jawab orang lain dalam suatu tuntutan umum, dengan kata lain menjadikan seseorang ikut bertanggung jawab atas tanggung jawab orang lain yang berkaitan dengan masalah nyawa, utang atau barang. Meskipun demikian pen­jamin yang ikut bertanggung jawab tersebut tidak dianggap berutang, dan utang pihak yang dijamin tidak gugur dengan jaminan pihak pen­jamin. Sedangkan menurut mazhab Maliki, Syafi’i dan Hambali, kafalah adalah menjadikan seseorang (penjamin) ikut bertanggung jawab atas tanggung jawab seseorang dalam pelunasan/pembayaran utang, dan dengan demikian keduanya dipandang berutang. Ulama sepakat tentang bolehnya kafalah, karena sangat dibutuhkan dalam muamalah masyarakat, dan agar yang berpiutang tidak dirugikan dengan ketidakmampuan orang yang berutang.
Dalam lembaga keuangan, akad ini terlihat dalam penerbitan garansi bank (bank guarantee). Ada tiga jenis kafalah, yaitu: 1) Kafalah bin nafs, yaitu jaminan dari diri si penjamin (personal guaran­tee); 2) Kafalah bil maal, yaitu jaminan pembayaran utang atau pelunasan utang. Aplikasinya dalam perbankan dapat berbentuk jaminan uang muka (advance payment bond) atau jaminan pembayaran (pay­ment bond). 3) Kafalah muallaqah, yaitu jaminan mutlak yang dibatasi oleh kurun tertentu dan untuk tujuan tertentu. Dalam perbankan modern hal ini diterapkan untuk jaminan pelaksanaan suatu proyek (perform­ance bonds) atau jaminan penawaran (bid bonds).

d)     Prinsip Hawalah
Hawalah adalah akad pemindahan utang/piutang suatu pihak kepada pihak lain. Dalam hal ini ada tiga pihak, yaitu pihak yang berutang (muhil atau madin), pihak yang memberi utang (muhal atau da’in) dan pihak yang menerima pemindahan (muhal ‘alaih). Menurut mazhab Hanafi ada dua jenis hawalah, yaitu: 1) Hawalah mutlaqah: Seseorang memindahkan utangnya kepada orang lain dan tidak mengaitkan dengan utang yang ada pada orang itu. Menurut ketiga mazhab lain selain Hanafi, kalau muhal ‘alaih tidak punya utang kepada muhil, maka hal ini sama dengan kafalah, dan ini harus dengan keridaan tiga pihak (da’in, madin dan muhal ‘alaih). 2) Hawalah Muqayyadah: Seseorang memindahkan utang dan mengait­kan dengan piutang yang ada padanya. Inilah hawalah yang boleh (jaiz) berdasarkan kesepakatan para ulama. Ketiga mazhab selain mazhab Hanafi hanya membolehkan hawalah muqayyadah dan mensyariatkan pada hawalah muqayyadah agar utang muhal kepada muhil dan utang muhal ‘alaih kepada muhil harus sama, baik sifat maupun jumlahnya. Kalau sudah sama jenis dan jumlahnya maka sahlah hawalah. Kalau berbeda salah satunya, maka hawalah tidak sah. Di pasar keuangan konvensional praktek hawalah dapat dilihat pada transaksi anjak piutang (factoring). Namun sebagaimana diuraikan di atas, kebanyakan ulama tidak memperbolehkan mengambil manfaat (imbalan) atas pemindahan utang/piutang tersebut.

e)      Prinsip Ju’alah
Ju’alah adalah suatu kontrak di mana pihak pertama menjanjikan imbalan tertentu kepada pihak kedua atas pelaksanaan suatu tugas/ pelayanan yang dilakukan oleh pihak kedua untuk kepentingan pihak pertama.Prinsip ini dapat diterapkan oleh bank dalam menawarkan berbagai pelayanan dengan mengambil fee dari nasabah, seperti Referensi Bank, Informasi Usaha dan sebagainya. Prinsip ini juga digunakan oleh Bank Indonesia dalam Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS).


f)       Prinsip Sharf
Sharf adalah transaksi pertukaran antara emas dengan perak atau pertukaran valuta asing, di mana mata uang asing dipertukarkan dengan mata uang domestik atau dengan mata uang asing lainnya. Bank Islam sebagai lembaga keuangan dapat menerapkan prinsip ini, dengan catatan harus memenuhi syarat-syarat yang disebutkan dalam beberapa hadits, antara lain: (1) harus tunai; (2) serah terima harus dilaksanakan dalam majelis kontak; dan (3) bila dipertukarkan mata uang yang sama harus dalam jumlah/kuantitas yang sama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

tafsir ayat jual beli

A.   Pemahaman soal š ú ï Ï % © ! $ # t b q è = à 2 ù ' t ƒ ( # 4 q t / Ì h  9 $ # Ÿ w t b q ã B q à ) t ƒ ž w Î ) $ y J x...